Senin, 06 Januari 2014

Sekilas Tentang Ajaran Sufi yang Diadopsi dari Luar Islam sumber : www.dzikra.com

Menurut pengakuan dari banyak peneliti baik dari kalangan Sufi maupun non Sufi, sepakat berpendapat bahwa kata Sufi belum ada kata sepakat tentang asal kata dari kalimat tersebut. Bahkan sebahagian tokoh-tokoh Sufi ada yang berpendapat bahwa definisi tasauf hampir mendekati 2000 pendapat([1]). Penyebab utama dari banyaknya perbedaan tentang hakikat Sufi kembali kepada sekte dan fase-fase yang terdapat dalam pemikiran Sufi itu sendiri.

Definisi yang lebih dekat dan populer adalah bahwa asal kata Sufi dinisbakan kepada pakaian yang sering dipakai oleh orang-orang Sufi pada awal kemunculan mereka di kota Bashrah([2]).

Kebiasaan orang-orang Sufi dahulu adalah memakai baju yang terbuat dari bulu domba yang tebal yang belum dihaluskan. Bulu domba dalam bahasa Arab disebut (صوف), maka dari kalimat ini lahir istilah (صوفي) atau (صوفية).

Sebagaian orang-orang Sufi berpendapat bahwa penamaan Sufi diambil dari istilah Ahlu Suffah, akan tetapi hal tersebut jauh dari segi bahasa dan fakta kehidupan Ahli Suffah. Para Ahli Suffah tidak pernah berkeyakinan dan beribadah ala orang-orang Sufi.

Para Ahli Suffah tinggal di masjid sementara waktu saja, sampai mereka memiliki tempat tinggal. Mereka juga orang-orang yang suka berekerja keras dan mencintai ilmu. Berbeda dengan orang Sufi yang berdiam diri di masjid karena malas bekerja dan berdalil itu sebagai bentuk tawakal. Pada hal tawakal bukan lah meninggal berusaha, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabat Radhiallahu ‘anhum. Kemudian penggunaan istilah Sufi untuk orang-orang yang zuhud atau ahli ibadah tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam maupun dikalangan para sahabat Radhiallahu ‘anhum.

Sejarah Awal Munculnya Sufi

Sebagaimana banyak perbedaan pendapat tentang makna Sufi demikian pula halnya tentang waktu kapan awal mula munculnya Sufi([3]).

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Sufi pertma sekali muncul di Bashrah dan yang pertama sekali memiliki pedepokan Sufi adalah teman-teman dari Abdul Waahid bin Zaid. Waktu itu di Bashrah muncul suatu komunitas yang berlebih-lebihan dalam masalah zuhud, ibadah, takut pada Allah dan semisalnya([4]).

Diantara ulama ada yang menyebutkan tentang sebab yang mendukung lahirnya Sufi di Bashrah adalah dikarenakan wilayah Bashrah sangat berdekatan dengan wilayah kebudayaan Persi dan kebudayaan Yunani. Jika kita teliti tentang ajaran Sufi maka prediksi ini tidak jauh dari kebenaran, karena kebanyakan kemiripan ajaran Sufi dengan ajaran kedua kebudayaan tersebut.

Orang yang pertama sekali dikenal dengan sebutan Sufi adalah Abu Hasyim As Sufi meninggal pada tahun 150H. Kemudian secara berangsur-angsur Sufi mulai berkembang keberbagai daerah-darah Islam pada sekita akhir abad ke tiga hijriyah.

Beberapa Ajaran Sufi Yang Diadopsi dari Luar Islam

Sufi memiliki banyak sekte, kemudian setiap sekte-sekte tersebut memilki tahapan atau tingkatan dalam ajaran mereka. Oleh sebab itu perlu dimengerti jika ada sebahagian Sufi merasa keberatan bila disebut ajaran mereka bersumber dari luar Islam. Akan tetapi bila mereka telah sampai pada tahapan atau tingkat senior (tingkat hakikat) dalam ajaran Sufi, mereka akan terjebak dengan ajaran-ajaran tersebut. Topik bahasan kita dalam tulisan ini adalah pada tingkat senior dari kalangan Sufi. Atau Sufi yang eksrim dalam melakukan berbagai macam bentuk bid’ah dalam agama, baik yang berhubungan dengan keyakinan maupun ibadah dan akhlak. Setelah kita teliti ternyata kebanyakan dari ajaran tersebut teradopsi dari ajaran luar Islam, diantara mereka ada yang menyadarinya dan kebanyakan dari mereka belum mengetahuinya.

Berikut ini kita sebutkan beberapa ajaran di luar Islam yang teradopsi kedalam ajaran Sufi:

Ajaran Yahudi

Ada beberapa ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran Yahudi dianataranya dalam metode dan gaya berzikir yang dilagukan serta diiringi oleh berbagai alat musik. Seperti rebana, gambus, kecapi, guitar, seruling, gendang. dll. Sebagaimana yang dianjurkan dalam kitab “Perjanjian Lama” milik kaum Yahudi: “Biarkan orang-orang zionis bergembira dengan kekuasan mereka. Hendaklah mereka memuji-Nya dengan bergoyang dan memukul rebana…Haliluyaa…pujilah Tuhan dalam kesuciannya. Pujilah Dia dengan gambus dan kecapi. Pujilah Dia dengan memukul rebana dan bergoyang. Pujilah Dia dengan gitar dan seruling. Pujilah Dia dengan berbagai warna sorak-sorai“([5]).

Disebutkan pula diantara sebab muasal penamaan pengikut nabi Musa dari orang-orang Bani Israil dinamakan Yahudi adalah karena kebiasaan mereka ketika membaca Taurat mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini dapat kita saksikan sendiri bagaimana orang-orang Yahudi ketika beribadah di depan Dinding Ratapan (tempat ibadah mereka) yang terdapat di masjid Aqsha.

Berkata Imam Abu Bakar Tharthuusy: “Bergoyang dalam berzikir dan berusaha agar pingsan, yang pertama sekali melakukannya adalah pengikut Samiri ketika mengajak mereka untuk menyembah ‘Ijil (anak sapi). Mereka bergoyang-goyang disekelilingnya dan pura-pura pingsan. Maka ia adalah agama para penyembah ‘Ijil barangsiapa yang menyerupai mereka berarti mereka termasuk golongan mereka”([6]).

Apa yang disebutkan oleh Imam Abu Bakar Thorthusy benar-benar di kisahkan dalam kitab suci orang Yahudi pada lembaran Khuruj ayat 32([7]).

Dalam ajaran sufi ada berbagai acara yang mereka anggap ibadah pelaksanaannya persis sama dengan cara beribadahnya orang-orang Yahudi yang kita debutkan diatas. Ada acara yang disebut dengan zikir jama’i, dubaan, rajaban, manaqiban, salawatan dan maulidan. Dalam acara-cara tersebut akan kita dapati alat-alat pujian yang digunakan orang-orang Yahudi dalam ibadah mereka. Seperti gambus, rebana, kadang-kadang dilengkapi dengan guitar dan seruling sambil berteriak-teriak dalam mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada Allah dan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Kemudian hampir semua para Sufi kita dapatkan ketika saat berzikir kepalanya digoyang kekanan dan kekiri. Bahkan ada yang benar-benar bergoyang sambil berdiri seperti dalam acara-acara sepesial mereka. Perbuatan tersebut mereka anggap sebagai ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Acara-acara tersebut biasanya dilaksanakan malam hari dimulai dari jam 21.00 atau jam 22.00 sampai larut malam. Sebelum acara dimulai biasanya semenjak sore sudah diputar melaui alat pengeras suara kaset nyanyi-nyanyian mulai dari qosidah, pop dan dangdut, bahkan kadang-kala jaipongan. Pelaksanaannya kadang-kadang di masjid atau di rumah salah seorang jam’ah Sufi. Mereka tidak perduli dengan orang-orang sekitar yang mau istirahat malam atau mungkin ada yang sakit. Kadang-kadang musik diputar saat orang-orang sedang melaksanakan sholat Maghrib dan Isa. Apa yang penulis sebutkan disini bukanlah mengada-ngada, akan tetapi sesuatu yang penulis saksikan dengan dua mata kepala, dan terdengar dengan dua telinga. Sebagai saksi dari apa yang penulis sebutkan disini adalah para mahasiswa kami yang selalu terganggu untuk belajar dan menulis tugas-tugas mereka.

Ajaran tasuf seperti yang kita sebutkan diatas tidak hanya terdapat di masa sekarang saja akan tetapi sudah berjalan lama ditengah-tengah umat ini. Salah seorang ulama telah mengupas permasalahan ini dalam sebuah karyanya dan menjelaskan tentang berbagai sisi kemungkaran dan kebatilan yang terdapat dalam ajaran Sufi tersebut. Dan Alhamdulillah penulis sendiri yang meneliti manuskrip kitab tersebut. Judul kitab tersebut adalah “Annahyu ‘Anirraqshi was Samaa’” karya Al Imam Al Hafizh Abu Muhammad Ad Dasyty wafat tahun 665H. Kitab tersebut dicetak dalam dua jilid oleh percetakan Wakaf Salam Riyadh-Saudi Arabia. Kalau kita ambil dari tahun kehidupan Imam Ad Dasyty berarti ajaran Sufi seperti yang kita sebutkan di atas sudah berjalan sejak sekitar delapan abad yang lalu. Akan tetapi bila kita membaca kitab Imam Ad Dasyty tersebut justru para ulama sebelumnya sudah banyak mengingkarti perbuatan tersebut. Bahkan sudah ada pada masa Imam Syafi’i, karena Imam Ad Dasyty dalam kitabnya tersebut menyebutkan kecaman Imam Syafi’i dan ulama-ulama lain terhadap komunitas Sufi yang ada pada masa mereka. Kala itu komunitas Sufi hanya melakukan dzikir atau membaca syair-syair zuhud dengan suara-suara yang sendukan. Imam Syafi’i menyebut mereka sebagai orang Zindiq. Bagaimana jika seandainya Imam Syafi’i dan para ulama tersebut menyasikan acara-acara komunitas Sufi yang kita sekarang ini?

Ketika Imam Syafi’i menyebut tentang hukum Taghbiir: “Itu adalah rekayasa orang-orang Zindiq untuk melalaikan manusia dari Al Qur’an”([8]).

Dalam salah satu ungkapan, beliau berkata: “Aku meninggal sesuatu di Baghdad yang disebut dengan Taghbiir. Hasil rekayasa orang-orang Zindiq. Agar mereka bisa menjauhkan manusia dari Al Qur’an”([9]).

Ibnu Khaldun menjelaskan dalam kitabnya “Al Muqaddimah“([10]): “Taghbiir adalah berdendang, jika dengan syair-syair disebut nyanyi, dan apabila dengan tahlilan disebut Taghbiir”.

Demikian pula Imam Azhary menjelaskan dalam kitabnya “Tahdzibullughah“([11]): “Mereka bila mendengar zikir dan do’a yang dilagukan mereka itu bergoyang, maka dari sini mereka dinamakan kaum Mughabbirah“.

Dalam masyarakat Sufi mendengar lantunan syair-syair yang diiringi dengan gendang dan rebana serta alat musik lainnya lebih meresab dalam hati mereka dari pada mendengarkan Al Qur’an. Dan yang lebih mengherankan adalah biasanya acara-acara tersebut lebih ramai dari pada sholat jam’ah di masjid. Jadi mereka kalau berzikir, slawatan ,dubaan dan rajaban berjama’ah akan tetapi sholatnya sendiri-sendiri, bahkan banyak diantara mereka yang malaikan sholat. Apalagi kalau acara-acara tersebut pelaksanaannya sampai larut malam maka saat waktu sholat subuh masuk mereka ngatuk dan tidur nyenyak, lalu sholat subuhnya lewat. Na’uzubillah min dzalik.

Berikut kita sebutkan pekataan para ulama tentang Tahgbiir:

Berkata Yazid bin Harun: “Tahgbiir adalah bid’ah dholalah, tiada yang melakukannya kecuali orang fasiq”([12]).

Berkata salah seorang dari ulama Syafi’iyah Abu Thoyib Ath Thobari: “Sesungguhnya apa yang diyakini oleh kelompok ini (Sufi) adalah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Karena tidak ada diantara mereka yang menjadikan hal itu sebagai agama dan keta’atan. Menurut pandanganku hal tidak boleh dilakukan di masjid-masjid dan dijami’-jami’, karena tempat-temapt tersebut adalah tempat yang dimuliakan dan dihormati. Perbuatan kelompok ini adalah meneylisihi ijma’ para ulama”([13]).

Berkata Imam Abu Bakar Tharthusyi: “Kelompok ini (Sufi) telah menyelisihi jama’ah kaum muslimin. Karena menjadikan nyanyi-nyanyian sebagai agama dan keta’atan. Dan mereka melakukannya di masjid-masjid dan tempat-tempat yang terhormat lainnya. Tidak ada seorangpun dari kalanga umat ini yang berpendapat membolehkannya([14])“.

Kalau kita lihat ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Sufi tersebut. Berikut ini kita coba kemukan bebrapa dalil dari Al Qur’an dan Sunnah serta perkataan para ulama mengenai metode dan gaya ibadah orang-orang sufi yang tersebut di atas:

Firman Allah:

{وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ} [الإسراء/64]

“Dan pengaruhilah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu”

Ayat diatas adalah sanggahan Allah kepada Iblis yang enggan untuk sujud, lalu Iblis meminta diberi tangguh sampai hari kiamat, maka Allah memeberi tangguh kepadanya dan mempersilakan memperdaya anak Adam dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan suaranya. Menurut Imam Mujahid salah seorang pakar tafsir dimasa Tabi’iin mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan suaramu dalam ayat di atas ialah: “Nayanyi-nyanyian dan seruling”([15]).

Dan fieman Allah”

{وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً} [الأنفال/35]

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan”.

Dalam ayat tersebut celaan bagi orang-orang musyrikin yang beribadah disekitar Ka’bah dengan bertepuk tangan dan bersorak-sorai.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang duilakukan oleh komunitas Sufi ketika mereka melakukan Dubaan atau yang semisalnya. Mereka bersorak sorai dan betepuk tangan.

Dan firman Allah:

{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ} [لقمان/6]

“Dan di antara manusia yang membeli membeli ucapan yang melalaikan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu, dan menjadikankannya sebagai bahan olok-olokan. Bagi mereka adalah azab yang menghinakan”.

Hampir seluruh Ahli Tafsir dari kalangan para Sahabat dan Tabi’iin mengatakan bahwa yang dimaksud dengan (لَهْوَ الْحَدِيثِ) ucapan yang melalaikan dalam ini adalah nyanyi-nyanyian([16]).

Dalam ayat di atas terdapat celaan dan ancaman bagi orang yang suka mendengakan nyanyi-nyanyian. Dan apabila yang dinyanyikan itu bait-bait yang menyebut nama Allah dan Rasul-Nya serta do’a dan zikir-zikir yang terdapat dalam Al Qur’an maka ini adalah bahagian dari meperolok-olok nama Allah dan Rasulnya Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta ayat-ayat-Nya!? Maka baginya di akhirat kelak adalah azab yang menghinakan.

Bersabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:

((إنما نهيت عن النوح عن صوتين أحمقين فاجرين صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير شيطان وصوت عند مصيبة خمش وجوه وشق جيوب ورنة شيطان))

“Sesungguhnya Aku dilarang dari dua suara; suara ketika memperoleh nikmat; bermain dan senda gurau dan seruling setan. Dan suara ketika ditimpa musibah; memukul muka dan merobek apakaian serta tangisan setan“([17]).

Berkata Ibnu Mas’ud: “Nyanyi itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati”([18]).

Berkata Fudhail Ibnu ‘Iyaadh: “Nyanyi adalah mantera zina, bila mantera zina telah berkumpul bersama pandangan dan sentuhan, maka sungguh telah sempurna sebab-sebabnya”([19]).

Imam Ahmad penah ditanya tentang Qoshidah (syair-syair zuhud yang dilagukan), beliau menjawab: “Adalah Bid’ah, tidak boleh ikut duduk bersama mereka”([20]).

Hujah sufi dalam membolehkan bergoyang saat berzikir

Diantara hujjah mereka dalam memboleh bergoyang-goyang ketika saat berzikir, merka berhujjah dengan kisah yang disebutkan dalam sebuah hadits tentang orang Habasyah yang melakukan permainan pedang di masjid Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam([21]).

Jawaban terhadap argumentasi orang Sufi tersebut adalah:

Bahwa permainan pedang yang dilakukan orang-orang Habasyah tersebut bukan bergoyang-goyang akan tetapi dalam bentuk gerakan dalam perperangan. Seperti maju dalam menyerang musuh sambil mengayunkan pedang atau mundur dari serangan musuh sambil menangkis pedang lawan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawy dalam kitab beliau “Syarah Shahih Muslim“([22]).
Orang-orang Habasyah melakukan hal itu sebagai sarana untuk latihan ketangkasan dalam menghadapi musuh dalam perperangan, bukan sekedar main-main belaka.
Kemudian tidak ada diantara mereka orang-orang Habasyah yang menganggap itu sebagi ibadah dan melakukan gerakan-gerakan serupa ketika mereka berzikir.

Diantara oran-orang Sufi ada pula yang berhujjah dalam menhentak-hentakkan kaki mereka saat bergoyang dengan kisah Nabi Ayub ‘Alaihis Salam ketika diperintahkan Allah menhentakkah kakinya kebumi([23]).

Jawaban atas hujjan mereka tersebut adalah:

Bahwa Nabi Ayub ‘Alaihis Salam melakukan hal itu atas perintah Allah agar keluar mata air dari bumi sebagai obat terhadap penyakit yang beliau derita. Apakah orang-orang Sufi menemukan perintah dari Allah atau Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dalam melakukan hal yang sama ketika berzikir. Apakah orang-orang Sufi memiliki penyakit seperti Nabi Ayub ‘Alaihis Salam?
Nabi Ayub melakukan itu bukan dalam rangka berzikir pada Allah, atau memandang hal tersebut sebagai sarana dalam beribadah kepada Allah. Karena Nabi Ayub ‘Alaihis Salam tidak tidak pernah mengulangi melakukan hal tersebut ketika beliau telah sembuh dari penyakit beliau. Apalagi melakukannya dalam berzikir?
Kemudian kisah Nabi Ayub ‘Alaihis Salam telah diketahui oleh para sahabat sebelum kita, namun tidak ada seorangpun dianatara mereka yang menggambil pelajaran dari kisah tersebut dalam metode berzikir, atau mengajurkan hal serupa.
Ibnu ‘Uqail berkata: “Jika orang-orang Sufi berhujjan dengan kisah Nabi Ayub ‘Alaihis Salam dalam perbuatan mereka tersebut. Berarti kita juga boleh berhujjah dengan kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam yang memukul batu dengan tongkat atas bolehnya memukul muka orang Sufi dengan tongkat”([24]).
Berkata Imam Ghazaly: “Bergoyang dalam berzikir adalah kebodohan yang ada di atas pundak seseorang, tidak mungkin ia tinggalkan kecuali dengan kesusahan”([25]).

Di sini Imam Ghazaly berpendapat bahwa kebiasaan bergoyang dalam berzikir adalah perbuatan orang yang bodoh dan sulit untuk ditinggal kecuali dengan kesusahan. Kenapa orang Sufi kesusahan meninggalkan perbuatan tersebut? Karena mereka sudah kecanduan dan menganggap hal tersebut sebagai sarana ibadah.

Hujah Sufi dalam membolehkan nyanyian

Diantara hujjah orang sufi dalam membolehkan bernyanyi dalam berzikir, mereka berhujjah dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang dua anak kecil melagukan syair-syair tentang perang Bu’ats pada hari lebaran di rumah ‘Aisyah radhiallhu ‘anha. Tatkala Abu bakar Radhiallahu ‘anhu masuk, ia menegur kedua anak kecil tersebut. Lalu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam berkata kepada Abu bakar: “Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, karena setiap umat memiliki hari lebaran dan hari ini adalah hari lebaran kita“([26]).

Orang-orang Sufi menjadikan hadits ini sebagai hujjah dalam membolehkan nyanyi secara umum atau dalam berzikir secara khusus.

Jawaban para ulama terhadap kekeliruan pemahaman orang-orang Sufi dalam memahami hadits tersebut:

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam hanya memberi pengecualian kepada anak-anak kecil pada hari lebaran atau acara pernikahan saja. Adapun orang dewasa tidak ada dalil yang membolehkannya, atau diluar waktu yang disebutkan. Dan perbuatan itu sama sekali tidak dianggap sebagai sarana ibadah. Adapun orang-orang sufi melakukannya pada setiap saat dan dianggap sebagai sarana ibadah kepada Allah. Ditambah lagi yang melakukannya orang-orang yang sudah umuran alias dewas. Dan tidak pernah seorangpun dari para sahabat maupun para ulama yang melakukannya apalagi menganjurkannya.
Jika nyanyi tersebut dilakukan dalam sepanjang waktu berarti tidak ada artinya dari pengecualian yang terdapat dalam hadits tersebut.
Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengingkari perbuatan dua anak kecil tersebut karena ia mengetahui hal itu dilarang oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam sekalipun anak kecil yang melakukannya, akan tetapi Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan pada hari lebaran bagi anak kecil. Hal ini membuktikan bahwa hal itu dilarang pada dasarnya.
Para ulama juga menjelaskan bahwa syair yang dibolehkan pada hari lebaran khusus bagi anak kecil tersebut dengan syarat tidak mengadung unsur-unsur negatif. Seperti mengandung nilai-nilai kesyirikan, celaan atau kata-kata yang memancing hawa nafsu.
Kemudian syair-syair yang dilagukan anak-anak kecil tersebut tidak seperti lagu-lagu yang ada di zaman sekarang yang diiringi dengan musik dan dengan suara yang mengiurkan. Bahkan sebelumnya dilakukan latihan berkali-kali.
Dalam lafazh hadits tersebut menyebutkan bahwa kedua anak kecil bukanlah penyanyi. Dijelaskan oleh para ulama maksudnya bahwa keduanya tidak memiliki kebiasaan menyanyi. Kemudian alasan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam membolehkannya karena hari itu adalah hari lebaran sebagai saat untuk bergembira bagi anak-anak.
Jika orang-orang Sufi berhujjah dalam kebiasaan mereka dengan perbuatan anak kecil yang terdapat dalam hadits tersebut. Berarti orang-orang Sufi suka mencontoh dan menyerupai perbuatan anak-anak kecil.
Berkata Ibnu Hajar Asqolaany: “Sekelompok orang-orang Sufi berhujjah dengan hadits ini dalam membolehkan nyanyi dan mendengarkannya baik dibantu alat musik maupun tidak. Cukup untuk membantah paerkataan mereka dengan ungkapan ‘Aisyah dalam hadits tersebut “Keduanya bukalah penyanyi“. Kemudia Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Qurthuby: “Adapun bid’ah yang biasa dilakukan orang-orang Sufi adalah hal yang tidak ada perselisihkan tentang keharamannya…..Bahkan mereka sampai kepada puncak kebodohan sehingga menjadikannya sebagai ibadah dan amal sholeh serta menganggap hal itu membuahkan kebaikan. Ini adalah peninggalan orang-orang Zindiq”([27]).

Kemudian orang-orang Sufi juga berhujjah dalam perbuatan mereka tersebut dengan pengecualian yang dibolehkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam pada saat walimah pernikahan([28]).

Jawabannya adalah adanya pengecualian pada saat walimah pernikahan, hal itu menunjukkan bahwa di luar acara walimahan adalah dilarang. Kalau tidak, tentu tidak perlu dikecualikan kalau seandainya dibolehkan dalam setiap saat.

Ajaran Nasrani

Ada beberapa ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran Nasrani dianataranya, seperti Tarbiyah Ruhiyah.

Dalam agama Nasrani tarbiyah ruhiyah dilakukan dengan beberapa bentuk. Mulai dari menghindar dari segala kenikmatan dunia, seperti meninggalkan mengkosumsi sesuatu yang enak dan lezat, memakai pakaian yang bagus, menjauhi pernikahan sampai pada tinggkat bersemedi di gua-gua. Saat mereka menganggap telah mencapai punjak kesucian jiwa mereka meyakini bahwa Zat Allah menyatu dengan diri mereka. Yang mereka sebut dalam istilah mereka: manyatunya Lahuut dengan Nasuut.

Hal serupa juga ditiru oleh orang-orang Sufi dalam mentarbiah dirinya untuk mencapai tingkat hakikat. Bila mereka telah sampai pada tingkat hakikat. Disini mereka akan dapat mengetahui hal-hal yang ghaib sekalipun. Bahkan yang lebih eksrim lagi mereka menganggab diri mereka telah bersatu dengan Tuhan. Ketika itu mereka meyakini tidak perlu lagi menjalankan perintah-perintah agama. Menurut mereka perintah-perintah agama adalah bagi orang yang belum sampai pada tingkat hakikat.

Kemudian juga dalam referensi orang-orang sufi sering menukil cerita-cerita tentang rahib-rahib Nasrani.

Kesamaan lain adalah meninggalkan manikah dengan alasan agar lebih fokus beribadah demi mendapatkan surga. Ajaran ini terdapat dalam Injil Matius fasal 19 ayat 12, yang berbunyi: “Ada orang yang tidak kawain,… ia membuat dirinya demikian karena kerajaan surga. Barangsiapa yang dapat melakukan maka hendaklah ia melakukannya“.

Dalam surat Paulus kepada penduduk Karnitus fasal 7 ayat 1, berbnyi: “Sangat baik bagi seorang lelaki untuk tidak menyentuh wanita“.

Berkata salah seorang tokoh Sufi Abu Sulaiman Ad Daaraany: “Tiga hal barangsiapa yang mencarinya maka sesungguhnya ia telah condong pada dunia; mencari kebutuhan hidup, menikahi wanita dan menulis hadits“.

Jika kita bandingkan apa yang diungkapkan oleh tokoh Sufi ini dengan apa yang terdapat dalam ajaran Nasrani tidak jauh beda. Menurut orang Sufi menyiksa diri dengan tidak makan dan minum serta tidak tidur adalah salah satu cara untuk menyucikan jiwa. Bahkan bila ia sampai mengalami kondisi tidak sadarkan diri, ia akan dibuka baginya hijab, lalu dari kondisi itu ia akan menerima ilham dan ilmu ladunni. Bahkan ada diantara mereka yang meyakini akan menyatu dengan Tuhan.

Diantara ajaran Injil Matius fasal 10 ayat 9 dan 10, berbunyi: “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat“.

Demikian bunyi ayat-ayat Injil Matius tentang anjuran meninggal segala hal yang dibutuhkan oleh seseorang mempertahankan hidup dalam perjanannya. Hal yang sama akan kita dapatkan pula dari ungkapan-ungkapan tokoh Sufi sebagaimana yang sudah sebutkan di atas.

Bagaimana pula aqidah Hulul dalam agama Nasrani? Mari kita simak apa yang terdapat dalam Injil Matius pada fasla 10 ayat 20: “Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu“.

Artinya Roh Tuhan menyusup kedalam diri seorang Rahib yang sudah layak untuk di masuki oleh Roh tersebut. Setelah melalui proses penyucian jiwa dengan metode seperti yang kita sebutkan sebelumnya. Demikian pula orang Sufi meyakini hal yang sama, bila seorang wali telah sampai pada tingkat hakikat maka sebahagian sifat Tuhan akan menyusup ke dalam dirinya. Menurut mereka dari situ seorang Sufi akan memiliki atau mengalami hal-hal yang diluar kemampuan manusia yang mereka sebut sebagai karomah. Jika kita membaca tentang biografi dan kisah orang-orang Sufi kita akan mendapatkan cerita yang menggambarkan hal tersebut.

Bila hal di atas kita bandingkan dengan ajaran islam akan terlihat hal yang sangat betolak belakang sekali.

Islam memrintahkan pemeluknya untuk beramal akan tetapi juga melarang mereka untuk meupakan bagian mereka dari kenikmatan dunia. Hal yang dilarang Islam adalah mendahulukan kesenangan dunia dan melalaikan kesenangan akhirat. Islam adalah agama yang seimbang dalam segala hal; baik dalam ideologi maupun ibadah dan akhlak.

Berikut ini kita kemukakan beberapa dalil yang menjelaskan akan hal tersebut:

Firman Allah:

{وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ} [القصص/77]

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu“.

Dalam ayat ini sangat jelas Allah menyuruh kita untuk mencari karunia-Nya baik yang berhubungan dengan kebahagian akhirat maupun kenikmatan duniawi.

Dan firman Allah:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (87) وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا} [المائدة/87، 88]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu”.

Dalam ayat ini jelas-jelas melarang kita untuk melampaui batas yang telah ditentukan Allah, seperti mengharamkan seseuatu yang dihalalkan Allah, melakukan ibadah yang tidak pernah diperintahkan Allah.

Diriwayakan dalam sebuah hadits, ada tiga orang sahabat mendatangi sebahagian isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam untuk bertanya tentang bagaimana ibadah beliau jika beliau berada di rumah beliau. Ketika mereka mendengar jawaban dari isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, mereka memandang bahwa ibadah mereka sangat sedikit sekali bila dibanding dengan ibadah Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam yang sudah diampni dosanya yang berlalu dan yang akan datang. Lalu mereka ingin bersungguh-sungguh untuk beribadah. Diantara mereka ada yang ingin shalat malam tanpa tidur, yang lain ingin berpuasa setiap hari tanpa berbuka seharipun, yang ketiga tidak mau menikah. Saat berita itu sampai kepada Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau marah dan menasehati mereka bertiga secara langsung. Kemudian Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam juga menasehati kaum muslimin secara umum dalam khutbah beliau.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه يقول جاء ثلاث رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم يسألون عن عبادة النبي صلى الله عليه وسلم فلما أخبروا كأنهم تقالوها فقالوا أين نحن من النبي صلى الله عليه وسلم؟ قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أما أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر أنا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال (( أنتم الذين قلتم كذا وكذا ؟ أما والله أتي لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني)) رواه البخاري ومسلم

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Tatkala mereka mengetahui, seakan-akan mereka memandangnya sedikit. Mereka berkata: dimana kita bila dibanding Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam? Ia telah diampuni Allah dosanya yang berlalu maupun yang akan datang. Salah seorang diantara mereka berkata: “Saya akan senatiasa shalat malam”. Yang lain berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka”. Yang berikutnya berkata: “Saya akan menjauhi wanita, maka saya tidak akan kawin selama-lamanya”. Lalu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam datang dan berkata kepada mereka: “Apakah kalian yang mengatakan begini-begini? Demi Allah saya adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian. Akan tetapi saya berpuasa juga berbuka, saya sholat malam numun juga tidur, dan saya mengawini wanita. Barangsiapa yang tidak suka pada sunnahku! Maka ia tidak termasuk golonganku”.

Bila kita lihat kehidupan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam beliau juga makan daging, minum susu, menyisir rambut dan memakai wangi-wangian.

Ketika beliau ditanya tentang sesorang yang memakai pakaian bagus apakah itu termasuk kategori sombong? Beliau menjawab tidak, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ «لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ «إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ». رواه مسلم

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji zarrah dari kesombongan”. Seorang bertanya: sesungguhnya seseorang menyukai bajunya bagus dan sandalnya bagus? Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan manusia lain“.

Benarkah disebut karomah, hal-hal yang dimiliki para sufi setelah mereka melakukan berbagai bentuk pratek ibadah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya?

Para ulama kita menjelaskan tidak semua hal luar biasa yang dialami atau terjadi pada seseorang dinilai sebagai karomah dari Allah. Karena hal-hal luar biasa itu ada tiga bentuk; Ada yang disebut karomah dan ada pula yang berbentuk tipuan setan, kemudian ada pula yang disebut sebagai tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat, karena sebelum hari kiamat akan banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang anah-aneh.

Bisa disebut karomah bila seseorang tersebut melaksanakan ibadah-ibadahnya berdasarkan ilmu yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu ia mengamalkan ilmunya tersebut dengan mentauladani Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabat Radhiallahu ‘anhum. Kemudian tidak terindikasi terlibat dalam berbagai acara-acara yang menyimpang dari ajaran dan sunnah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.

Namun bisa juga hal luar biasa yang dialami atau terjadi pada seseorang itu sebagai tipuan dari setan. Sebagaimana terjadi pada orang-orang yang merubah syari’at yang dibawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan menggantinya dengan ajara-ajaran yang direkayasanya sendiri atau setan yang merekayasa utnuk mereka.

Seperti yang pernah dialami oleh salah seorang teman kami. Ia pernah ditawari oleh seseorang yang dianggap Wali/Kiyai untuk memiliki ilmu kebal, tahan pedang dan senjata tajam lainnya. Sang wali memiliki ilmu tersebut dan bisa diturunkan kepadanya. Caranya sangat mudah, yaitu berzikir selama empat puluh hari dalam kelambu yang ada dalam rumahnya. Kemudian saat berizikir ia membayangkan wajah sang Wali dengan melihat foto yang terpajang dalam kelambu tersebut.

Jika seseorang yang tidak memiliki ilmu agama yang cukup, akan melihat secara sepintas bahwa hal itu tidak ada masalah. Dan menilainya sebagai perbuatan baik, karena berzikir adalah ibadah yang mulia.

Namun bagi orang yang mengerti ajaran agama dan aqidah yang benar akan menilai bahwa perbuatan itu menyimpang dari beberapa segi:

Pertama: Dari segi tujuan zikir yaitu untuk mendapatkan kekebalan? Kalau dengan cara berzikir bisa kebal dari senjata tajam pasti Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para Sahabat orang yang pertama sekali melakukannya dan memperoleh keutamaan tersebut. Namun dalam kenyataan mereka banyak yang cedera bahkan meninggal dalam peperangan?

Kedua: Dari segi mengkhususkan waktu dan tempat? Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengajurkan dan menetukan waktu selama empat puluh hari secara terus-menerus berzikir. Atau harus dalam kelambu yang di dalamnya dipajang foto Sang Wali/Kiyai? Akan tetapi Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam mengajurkan berzikir kapan dan dimana saja, tanpa perlu meninggalkan perkerjaaan dan kewajiban-kewajiban agama yang lainnya.

Ketiga: Jika ia berzikir selama empat puluh hari terus-menerus dan tidak boleh keluar dari tempat semediannya? Bagaimana shalat berjam’ahnya dan shalat jum’atnya? Ini adalah cara setan menyesatkan seseorang yaitu mengutamakan amalan sunnah diatas amala-amalan wajib. Atau mengutamakan amalan-amalan bid’ah diatas amalan-amalan sunnah. Dan lebih sesat lagi menjadikan perkara-perkara yang diharamkan dalam agama sebagai sarana ibadah! Seperti nyanyian dan jogetan.

Keempat: Kenapa harus membayangkan wajah Sang Wali/Kiyai saat berzikir tersebut? Kalau yang dibayangkan wajah Sang Wali/Kiyai saat berzikir ini berarti menjadikannya sebagai tuhan yang terdapat dalam kadungan makna zikir yang dibacanya?

Dari sini dapat kita ukur apakah perkara yang luar biasa yang dialami seseorang apakah datang dari Allah atau datang dari setan? Dalam kehidupan orang-orang yang dianggap memilki karomah sangat banyak cerita-cerita serupa. Padahal itu buka karomah tapi tipu-daya setan dalam menyesatkan manusia. Bagaimana mungkin orang yang menyimpang dalam menjalankan ajaran agama akan memiliki karomah?

Apakah ada orang sesat dan orang kafir sekalipun memiliki peristiwa-peristiwa yang luar biasa?

Jawabannya ada, seperti Dajal dan beberapa kisah nabi-nabi palsu, diantara mereka ada yang bisa menghilang dari penglihatan manusia. Karena ia disembunyikan oleh setan-setan yang membelanya.

Demikian pula Dajal dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, sebagai fitnah bagi umat yang hidup dimasanya. Dan kebanyakan manusia tertipu oleh Dajal. Karena ia bisa menghidukan seseorang sudah mati dan mendatangkan hewan ternak yang banyak. Namun dijelaskan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam yang hidup itu bukan orang telah mati, akan tetapi setan menjelma menyerupai orang yang sudah mati tersebut dan menjelma menjadi onta-onta yang banyak([29]).

Demikian pula sebelum hari kiamat akan banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang luar biasa atau aneh di tengah-tengah kehidupan manusia, sebagai tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat. Sebagai contohnya hadits yang diriwayat Abu hurairah Radhiallahu ‘anhum ia menceritakan: “Seekor Srigala mendekati gerombolan kambing yang digembalakan, lalu ia menangkap satu ekor kambing dan lari. Ketika itu sang pengembala langsung mengejar Srigala tersebut dan dapat menyelamatkan kambing yang ditangkapnya. Lalu Srigala itu naik ke sebuah bukit yang rendah seraya berkata kepada sipengembala kambing: “Engkau telah merebut rizki yang diberikan Allah kepadaku, engkau telah merebutnya dariku”. Sang pengembala keheranan dan berkata: “Demi Allah aku belum pernah melihat Srigala berbicara seperti pada hari ini”. Srigala menimpali ungkapan Sipengembala: “Lebih ajib lagi seorang laki-laki yang berada dianatar dua bukit batu. Ia menceritakan kepada kalian apa yang telah berlalu dan apa yang akan datang”. Sipengembala itu adalah seorang Yahudi. Lalu ia menemui Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan masuk Islam. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam membenarkan kisahnya tersebut, kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya itu adalah salah satu tanda dari tanda-tanda dekatnya hari kiamat. Boleh jadi seseorang keluar rumah, ia tidak pulang sampai berbicara kepadanya sendal dan tongkatnya memberitahukan tentang apa yang menimpa keluarganya setelah ia tinggalkan“([30]).

Dari kisah di atas ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil:

Pertama: Peristiwa yang luar biasa tidak mutlak sebagai karomah bagi seseorang yang mengalaminya seperti kisah di atas dialami oleh seorang Yahudi yang belum masuk Islam.

Kedua: Peristiwa yang luar biasa yang dialami seseorang bukanlah mutlak sebagai ukuran tentang kemulian seseorang tersebut disisi Allah. Karena boleh jadi peristiwa tersebut sebagai salah satu tanda dari tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat.

Ketiga: Peristiwa luar biasa tidaklah khsusus pada orang-orang sholeh, akan tetapi bisa dialami oleh orang kafir bahkan binatang sekalipun. Seperti dalam kisah ini srigala, sandal dan tongkat bisa berbicara. Bukan berarti bahwa srigala, sandal dan tongkat itu memilki karomah atau kesaktian! Dan bisa diminta menyembuhkan penyakit dan lain sebagainya. Demikian pula manusia walaupun ia mengalami hal-hal yang luar biasa bukan berarti ia kita sembah dan kita seru, kita minta untuk melakukan sesuatu untuk kita. Seperti mencarikan jodoh, memberi ajimat pelaris, minta kesembuhan dan lain sebagainya.

Demikian yang dapat kami jelaskan, sebetulnya masih banyak ajaran-ajaran agma lain yang diadopsi oleh komunitas sufi, seperti ajaran agama Majusi, Hindu, Budha, Konghucu, kepercayaan animisme, agama Yunani kuno dll. Akan tetapi sisi-sisi yang diadopsi hampir sama. Seperti bergoyang-goyang ketika berzikir, ajaran seperti ini terdapat dalam ajaran Yahudi, Animisme, Hindu dan Budha. Demikian pula melagukan ayat-ayat dan syair-syair zuhud, ajaran seperti ini terdapat dalam ajaran Hindu, Budha dan Nasrani.

Karena antara satu agama dengan agama yang lainnya dari agama-agama tersebut salimg memilki kemiripan dari sisi teologi dan sistem peribadatan dalam mencapai kesucian jiwa. Atau mungkin diantara agama-agama tersebut ada yang mengadopsi ajaran agama lain, seperti ajaran Trinitas dalam agama Nasrani diambil dari ajaran Yunani kuno.

Allahu Al hady Ila Sawaai As Sabiil

([1]( lihat “Tashawuf Al Mansya’ wal Masdar”/ Ilahi Zhohir: 37, ‘Firaq Mu’asharah”: 2/578, “Mashadir Talaqqi ‘Inda Sufiyah”/ Shaadiq Saalim: 34.

([2]( lihat “Majmu’ Fataawa”/ Ibnu Taimiyah: 11/6, 195.

([3]( lihat “Mashadir Talaqqi ‘Inda Sufiyah”/ Shaadiq Saalim: 39.

([4]( lihat ‘Majmu’ Fataawa”/ Ibnu Taimiyah: 11/6.

([5]( lihat “Mazmur”: 149-150, “Firaq Mu’asharah”/ ‘Al ‘Awaaji: 2/123.

([6]( lihat “Tahriim As Samaa’”: 269-270, “Tafsir Qurtuby”: 10/366, 11/238.

([7]( lihat “An Nahyu ‘Anirraqshi was Samaa’”: 2/559.

([8]( lihat “Annahyu ‘Anirraqshi was Samaa’”: 2/556.

([9]( lihat “Hilyatul Auliyaa”’/ Abu Nu’aim”: 9/146.

([10]( lihat hal: 427.

([11]( lihat hal: 8/122.

([12]( Diriwayat oleh Khalaal dalam “Al Amr bil Ma’ruf”: 107.

([13]( lihat kitab beliau “Jawabussamaa’” dalam bentuk manuskrib lembaran:2/b,dan kitab “Annahyu ‘Annirraqshi was Samaa’”: 2/547.

([14]( lihat kitab beliau “Tahriim As Samaa’”:166-167 ” dalam bentuk manuskrib lembaran:2/b, dan “Annahyu ‘Annirraqshi was Samaa’”: 2/548.

([15]( lihat “tafsir Thobary”: 15/118, “Hilyatul Auliyaa”’/ Abu Nu’aim”: 3/298.

([16]( silakan lihat tafsir ayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir para ulama.

([17]( H.R. Imam Tirmizi, no (1005). Dan Tirmizi menilai hadits ini sebagai hadits hasan.

([18]( Diriwayat oleh Imam Baihaqy dalam “Syu’abil Iman”: 4/278.

([19]( Diriwayat oleh Ibnu Abi Dunya dala “Dzamil Malaahy”: 55.

([20]( Diriwayat oleh Khalaal dalam “Al Amr bil Ma’ruf”: 105.

([21]( lihat haditsnya dalam “Shahih Muslim” no (892).

([22]( lihat ‘Syarah Shohih Muslim”: 6/186.

([23]( lihat surat “Shaad” ayat: 42.

([24]( lihat “Talbiis Ibliis”/ Ibnul Jauzi: 316, “Tafsir Qurthuby”: 15/215.

([25]( lihat “Talbiis Ibliis”/ Ibnul Jauzi: 318, “Tafsir Qurthuby”: 10/263.

([26]( lihat haditsnya dalam “Shahih Bukhari” no (952) dan “Shahih Muslim” no (892).

([27]( lihat “Fathul Baary”: 2/442.

([28]( lihat haditsnya dalam “Sunan Tirmizi” no (1088), “Sunan Nasa’i” no (3369, 3370) dan “Sunan Ibnu Majah” no (1900).

([29]( lihat kisah Dajal dalam kitab “Qishah Al Masih Ad Dajal” karya Imam Al Albany.

([30]( H.R. Imam Ahmad dalam “Musnad” no (8049) dan Abdurrazaq dalam “Mushannaf” no (20808).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar