Kamis, 23 Januari 2014

Karakteristik Islam Jama'ah Assalamu’alaikum wr. wb. Islam Jama’ah tentu saja banyak penyimpangannya. Untuk lebih jelasnya silahkan baca makalah yang kami nukil tentang Islam Jama‘ah: Islam Jama‘ah adalah suatu nama jama‘ah sempalan yang sangat identik dengan khawarij. Kelompok ini pusatnya di Indonesia dan hampir tidak terdengar namanya di luar Indonesia, walaupun mereka mengaku-ngaku bahwa jama‘ah mereka ini telah mendunia. Jama‘ah ini didirikan oleh seorang yang bernama Nur Hasan Ubaidah, yang menurut pengakuannya bahwa jema‘ah ini telah ada sejak tahun 1941. Namun yang benar ia baru dibai‘at pada tahun 1960. Kelompok ini berdiri pertama kalinya dengan nama Darul Hadits. Lalu kemudian berganti-ganti nama menjadi YPID (Yayasan Pendidikan Islam Djama‘ah), lalu LEMKARI dan pada tahun 1991 menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Penggantian ini dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan dan supaya tidak ketahuan jejak mereka jika mulai timbul ketidaksukaan dari masyarakat. Berikut sekilas tentang jemaah mereka. Sistem Pengajian Sistem pengajian mereka disebut mangkul. Yaitu bahwasanya kajian hadits dan Al-Qur‘an harus memakai isnad. Mereka berdalil dengan perkataan Ibnul Mubarok: Isnad itu bagian dari agama. Kalau tanpa isnad, maka siapa saja akan berkata apa yang dia sukai. Dalam masalah hadits, Nur Hasan Ubaidah mengaku mempunyai isnad sampai ke Imam Bukhari dan Imam-Imam yang lainnya. Sedang dalam masalah Al-Qur‘an, dia mengaku mempunyai isnad sampai ke Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan, bahkan sampai ke malaikat Jibril. Siapa saja yang memiliki isnad selain Islam Jema‘ah dianggap tidak sah dan palsu. Menurut mereka barang siapa yang beramal tanpa isnad sama saja amalnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah. Sehingga wajar saja jika kita masuk mesjid atau rumah mereka, mereka selalu mengepel bekas kita karena menganggap toharoh kita tidak sah sehingga kita dianggap membawa najis. Islam Jama’ah dan Hadits Nabi Menurut mereka, shahih tidaknya suatu hadits tergantung kepada amir mereka. Sebuah hadits palsu dapat dianggap hadits shahih jika menurut amir mereka hadist shahih. Sistem keamiran menurut mereka, mendirikan kelompok (jema’ah) dan berbai’at terhadap amir adalah wajib. Dalil-dalil yang mereka gunakan adalah: 1. Hadits tentang iftiroq (terpecahnya) umat menjadi 73 golongan. Dan dalam suatu lafaz hasits tersebut Rosulullah menjelaskan hanya satu golongan yang masuk surga yaitu al-Jama’ah. Menurut mereka, itulah jema’ah mereka yang disebut oleh Rasulullah saw. 2. Sebuah hadits yang menurut mereka diriwayatkan oleh Imam Ahmad, namun ternyata tidak ada. Yaitu hadits: Tidak ada islam kecuali dengan jama‘ah dan tidak ada jama‘ah kecuali dengan amir dan tidak ada amir kecuali dengan bai‘at. Itu hanyalah ucapan Umar bin Al-Kaththab yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan sanad yang dhaif didalam sanadnya ada perawi majhul dan lemah (lihat silsilah fatawa syar’iyyah karya syaikh Abul-Hasan As-Sulamani fatwa no.39) 3. Surat Al-Isro’ ayat 71 “Pada hari yang kami panggil setiap orang dengan imamnya (kitab catatan amalnya), maka barang siapa yang didatangkan kitabnya dari kanannya, maka mereka membaca kitabnya dan mereka tidak dirugikan sedikitpun.” Menurut mereka pada hari kiamat nanti setiap orang akan dpanggil bersama imamnya yaitu amirnya. Barang siapa yang tidak punya amir, maka dia akan dikumpulkan bersama orang-orang kafir. Anggota-anggota Islam Jama‘ah sangat taat kepada amirnya. Mereka berdalil dengan surat An-Nisa ayat 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rosul dan Ulil amri diantara kalian.” Menurut mereka hanyalah disebut orang beriman jika telah taat kepada Allah, Rasulullah, dan amir mereka. Tidak cukup hanya taat kepada Allah dan Rosulullah. Jadi perintah Allah sama dengan perintah Rasul sama dengan perintah amir mereka. Bahkan jika mereka berbuat ma‘siat kepada Allah, bisa dimaafkan dengan cukup beristigfar. Namun jika bersalah kepada amir, maka tidak cukup hanya beristigfar tapi juga harus dengan membuat surat pernyataan tobat (yang hal ini merupakan tasyabuh dengan orang-orang Kristen Katolik) dan membayar kafarah yang ditentukan menurut selera amir mereka. Perekonomian Jalannya kegiatan amir dan para pengurus jema‘ah mereka yaitu dengan menarik sodaqoh wajib dari setiap anggotanya sekian persen dari pendapatannya. Besar sodaqoh wajib (yang lebih cocok disebut pajak) ini berubah-ubah sesuai keputusan amir, dan setiap anggota tidak sama berdasarkan kekayaan mereka. Pengkafiran terhadap orang-orang di luar jama’ah mereka Perlu diketahui bahwasanya jenis anggota mereka secara umum terbagi dua, yaitu fanatik (bersifat keras tanpa toleransi) dan moderat (ada sedikit toleransi terhadap orang-orang diluar jema‘ah mereka). Yang moderat ini biasanya adalah anggota-anggota baru yang mereka anggap seperti muallaf. Mereka masih mau sholat dengan orang-orang diluar jema‘ah mereka, namun lama-kelamaan juga akan sama seperti yang fanatik Sedangkan yang fanatik, mereka menganggap semua orang yang diluar kelompok mereka adalah kafir. Sehingga mereka tidak mau sholat di imami atau di mesjid orang-orang yang bukan anggota jema‘ah mereka. Bahkan mereka boleh mengambil harta orang diluar jema‘ah mereka asal tidak membahayakan mereka. Aqidah Mereka Menurut mereka orang yang melakukan dosa besar kekal di dalam neraka. Dan orang-orang yang tidak membai’at imam mereka adalah kafir dan najis. Selain itu mereka mempunyai suatu aqidah yang identik dengan taqiyyahnya orang-orang Syi‘ah. Mereka menamakannya Fathonah bithonah Budiluhur Luhuringbudi Karena Allah. Yaitu bolehnya berbohong demi kepentingan jema‘ah mereka. Mereka berdalil dengan kisah berbohongnya Nabi Ibrahim ketika berkata bahwa patung besar yang telah menghancurkan patung-patung yang kecil. Sistem Doktrin Ajaran Mereka Kekuatan doktrinnya tertumpu pada ‘Sistem 354‘ yaitu: 3 = Jamaah, Quran dan Hadits. 5 = Program lima bab berisi janji/sumpah bai’at keepada sang amir yaitu: Mengaji, Mengamal, Membela, Sambung jamaah dan Taat Amir. 4 = Tali pengikat Iman yang terdiri dari: Syukur kepada Amir, Menganggungkan Amir, Bersungguh-sungguh dan Berdoa. Peringatan Kita harus berhati-hati terhadap mereka, jangan sampai tertipu oleh mereka. Sering sekali mereka menutupi sifat-sifat mereka. Sehingga ketika mereka mendakwahi orang awam seakan-akan mereka seperti orang biasa yang mau berjabat tangan dengan orang lain, tidak mengkafirkan orang lain, dan tidak menganggap orang lain membawa najis dan sebagainya. Padahal ini semua adalah tipuan mereka yang mereka sebut dengan bitonah agar bisa mempunyai anggota yang sebanyak-banyaknya. (dinukil dengan ringkas dari kaset sesatnya Islam jama’ah oleh Ustadz Hasyim Rifa’i dahulunya beliau adalah anggota Islam Jama’ah dan buku Bahaya Islam Jamaah Lemkari dan LDII). Wallahu'Alam bis-Shawab- Wassalamu'alaikum wr. wb.

Minggu, 19 Januari 2014

pantura bsnjir

Check out @detikcom's Tweet: https://twitter.com/detikcom/status/425037759871348736

Kamis, 09 Januari 2014

pilihan Allah adalah yang terbaik

Pilihan Allah adalah TERBAIKAl Khair Khairutullaah, Pilihan Allah adalah yang terbaik. Tak ada kesia-siaan dalam Allah menciptakan sesuatu untuk hamba-Nya, Terkadang seseorang tertimpa takdir yang menyakitkan yang tidak disukai oleh dirinya, kemudian dia tidak bersabar, merasa sedih dan mengira bahwa takdir tersebut adalah sebuah pukulan yang akan memusnahkan setiap harapan hidup dan cita-citanya. Akan tetapi, sering kali kita melihat dibalik keterputus-asaannya ternyata Allah memberikan kebaikan kepadanya dari arah yang tidak pernah ia sangka-sangka.

Sebaliknya, berapa banyak pula kita melihat seseorang yang berusaha dalam sesuatu yang kelihatannya baik, berjuang mati-matian untuk mendapatkannya, tetapi yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang dia inginkan.

و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ

"Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."(QS. Al Baqarah: 216)

Mungkin cerita ini bisa jadi pembelajaran berharga bagi kita walaupun kebenaran cerita ini belum diketahui shahihnya namun kita bisa memetik pelajaran berharga dari cerita ini bahwa pilihan Allah adalah yang terbaik.

Suatu masa, ada seorang raja yang sangat menyayangi rakyatnya, setiap rakyatnya mendapat musibah dia selalu mengatakan Al Khair Khairutullah, pilihan Allah adalah yang terbaik, sehingga menjadi lapanglah hati rakyatnya mendengar hal ini.

Suatu hari sang raja mendapat musibah jari tangannya putus, lalu ia mengadu kepada salah seorang menteri kesayangannya, dan menteri tersebut mengatakan kepada raja hal yang biasa ia katakan pada rakyatnya, Al Khair Khairutullah, pilihan Allah adalah yang terbaik.

Mendengar hal ini sang raja murka dan memenjarakan perdana menteri tadi.
Suatu hari raja bersama pasukannya pergi berburu dan mereka tersesat jauh di dalam hutan dan tertangkap sekelompok penyembah roh. Satu persatu pasukan raja di sembelih untuk di persembahkan ke dewa penyembah roh tadi hingga tiba giliran araja mereka melihat jari raja yang terputus sehingga mereka tidak jadi menyembelih raja karena dianggap cacat. akhirnya raja selamat dan kembali ke istananya.
Raja segera membebaskan menteri yang ia penjarakan tadi dan berkata benar apa yang engkau bilang wahai menteri Al Khair Khairutullah, pilihan Allah adalah yang terbaik, lalu ia menceritakan apa yang terjadi pada menteri tadi.
Dan sang raja bertanya pada menteri lalu apakah penjara bagimu adalah yang terbaik pilihan Allah? sang menteri menjawab benar wahai raja, Al Khair Khairutullah, pilihan Allah adalah yang terbaik.


Sang raja  bertanya apa terus apakah hikmahnya bagimu wahai menteri?
Menteri menjawab seandainya saya tidak masuk penjara tentunya saya akan ikut bersama raja berburu dan tentunya saya sudah disembelih bersama pasukan lainnya. namun Allah menyelematkan saya dengan memasukkan saya ke penjara.

Begitulah teman, apa yang tampak pahit di mata manusia, ternyata penuh kebaikan di hadapan Allah dan ternyata berakhir kebahagiaan tiada terkira menjadi anugerah yang begitu berharga.

واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ


Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui

Banyak sekali kisah yang sudah pasti shahih dalam Al-Qur'an yang menceritakan perihal jalan keburukan namun sebenarnya itu hanyalah sebuah rentetan scenario taksir dari Allah Swt.

Maka lihatlah kisah Ibu Nabi Musa AS ketika ia harus melemparkan anaknya ke sungai... bukankah kita mendapatkan bahwa tidak ada yang lebih dibenci oleh Ibu Musa daripada jatuhnya anaknya di tangan keluarga Fir'aun? namun meskipun demikian tampaklah akibatnya yang terpuji dan pengaruhnya yang baik di hari-hari berikutnya, dan inilah yang diungkapkan oleh ayat. Bagaimana seorang raja yang dzalim akan dihancurkan anak yang dibesarkan dihadapannya.

Lihat pula kisah Nabi Yusuf AS ketika beliau harus berpisah dengan ayah beliau Nabi Ya'qub AS, ketika beliau harus dimasukkan ke dalam sumur dan diambil oleh kafilah dagang... kemudian nasibnya dijual dan dirampas kebebasan menjadi seorang budak. Dan pada akhirnya setelah melalui berbagai cobaan. Beliau menjadi seorang perdana menteri yang arif dan masyhur.

Bukankah kita akan melihat hikmah yang begitu besar dibalik semua itu?

Smoga kita termasuk menjadi orang-orang yang bersyukur, selalu berpikir positif kepada Allah, tangguh atas ujian yang diberikan sehingga kita bisa memetik hasilnya kelak diakherat maupun didunia. Amin.

Menjadi seperti pohon berkualitas

Menjadi Seperti Pohon BerkualitasSungguh indah isi dan kandungan Al-Qur'an, semakin kita mmebaca dan memaknainya maka makin terungkap firman-firman Allah sebagai bekal akhirat dan dunia bagi manusia.

Gaya bahasanya yang tidak mampu ditandingi oleh siapapun termasuk penentang-penentang di Jaman Rasulullah SAW, dimana pada saat itu ada era sastra maju pesat sehingga beberapa penentang Al-Qur'an mencoba membuat ayat dan surat sejenis. Tetapi pada akhirnya, Allah munculkan yang benar dan tenggelamkan yang batil.
Salah satu elemen yang sering kita baca adalah seringnya Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan dalam menguatkan ayat-ayat yang ada. Disisi lain menjadi bagian dari keindahan, dan yang paling penting membuat manusia lebih mudah "berpikir" dan mendakwahkannya.
                                                                                             
Allah SWT. mengajarkan kepada kita salah satu metode pembelajaran dalam al-Qur’an yakni perumpamaan (amtsaal). Suatu masalah akan lebih mudah dipahami jika diumpamakan, apalagi menyangkut perkara yang metafisik. 

Dalam umpama terkandung kearifan dan renungan, seseorang tidak secara langsung merasa menjadi objek, namun perlahan menyadari arah dan maksud pesan  tersebut. Perumpamaan dimaksudkan agar kita mengambil i'tibar (hikmah) dari suatu peristiwa. (QS. 29:43,17:89).

Dalam al-Quran, Allah SWT. memberikan banyak perumpamaan, diantaranya adalah :
(1) Menjadikan nyamuk sebagai umpama (QS.2:26) yang berkaitan dengan kelemahan berhala (QS.22:73).
(2) Kebenaran seperti air dan logam murni, kebatilan laksana buih air dan tahi logam (QS.13:17).
(3) Cahaya Allah ibarat lobang yang tidak tembus (misykat) di dalamnya ada pelita besar (QS.24:35).
(4) Berinfak dijalan Allah bagaikan sebutir biji yang tumbuh 7 tangkai (QS.2:161)
(5) Dan berinfak dengan riya tak ubahnya debu di atas batu licin (QS.2:265).
(6) Begitu juga orang berilmu tapi tidak mengamalkan disamakan dengan keledai (QS.62:5).
Masih banyak perumpamaan lain, meskipun kita seringkali tidak pandai mengambil pelajaran.


Perumpamaan yang sangat menarik adalah seorang Mukmin itu laksana pohon yang baik (QS.14:24-25).  Kalimatan thoyyibah (kalimat yang baik) laksana pohon yang baik (syajaratun thoyyibah). Kalimat yang baik itu adalah laa ilaha illahllah (syahadat).

Dalam Tafsir Jaami'ul Bayan, Ibnu Jarir Ath-Thabari juga menjelaskan kalimatan thoyyibah adalah persaksian tiada tuhan selain Allah, dan  syajarotun toyyibah adalah seorang Mukmin, ashluha tsabitun artinya laa ilaha illallah yang tertanam di dalam hati seorang Mukmin, wa far’uha fis-samaai yakni amal perbuatannya akan diangkat ke langit.

Jika kita renungkan ayat di atas, indikator pohon yang baik atau berkualitas ada tiga hal:
Pertama, ashluha tsabitun (akarnya menghujam ke perut bumi). Akar yang kuat menjadi dasar dan tumpuan tumbuhnya pohon yang besar.
Di sinilah pentingnya peran sang penanam yang ikhlas dan sungguh-sungguh, berkorban tanaga, pikiran dan membutuhkan waktu yang cukup lama.  Semakin dalam akarnya, maka semakin kuat pula pohon itu. Tidak mudah tumbang walau dihantam badai. Akar ibarat akidah tauhid (iman) yang tertanam di dalam lubuk hati sanubari seorang mukmin.

Jika akidahnya kuat, maka ia mampu menghadapi cobaan dan godaan hidup seberat apapun.  Akidah tauhid harus ditanamkan oleh orang tua dan guru kepada anak sejak dini. Peran keduanya sebagai pendidik  sangat penting agar akar akidah anak menghujam ke lubuk hati sanubari. (QS.31:13).

Kedua, far’uha fis-samai (dahannya menjulang ke langit). Pohon yang sudah berurat berakar, akan menumbuhkan batang yang besar, dahan dan ranting yang banyak serta berdaun lebat. Ia akan membagikan oksigen yang bersih dan kesejukan bagi manusia. Hijau dan menyejukkan.
Inilah ibarat seorang Mukmin yang taat dalam menjalankan syariat Islam, baik dalam ibadah ritual maupun sosial (muamalah). Akidah (iman) yang kuat harus tampak pada kepatuhan dalam menjalankan ibadah ketika menjalankan aktivitas sehari-hari. 

Ketiga, tu’tii ukulaha kulla hiin (berbuah setiap waktu). Pohon yang baik tidak hanya berakar kuat dan berdahan besar, tapi juga berbuah banyak dan enak. Bukan hanya pada musimnya, tapi di setiap musim tiada henti. Pohon berbuah  menguntungkan pemiliknya dan orang lain. Semakin bagus kualitasnya, semakin tinggi pula harganya.


Inilah perumpamaan Mukmin yang berakhlak karimah. Akidah dan syariat yang kuat dan benar mestilah berbuah akhlak mulia (karakter islami). “Sebaik-baik keislaman seseorang adalah yang terbaik akhlakhnya”. (HR. At-Turmudzi).
Akhlak karimah inilah yang mulai pudar dari sebagian anak-anak, orang tua, pemimpin, politisi dan pejabat negara kita.  Pendidikan karakter hanya berhasil  jika ada model. Dalam sejarah, tidak ada yang berhasil menjadi model kecuali Nabi Muhammad SAW. (QS.33:21).

Orang tua di rumah dan guru di sekolah harus menjadi pilar utama dan bertanggung jawab dalam menanamkan akidah, menjalankan syariat dan teladan dalam akhlak karimah. Insya Allah, anak-anak kita akan menjadi “pohon yang baik”.

Pribadi sebagai pohon yang baik akan elok dilihat akhlaknya. Dan segala aktifitasnya selalu mampu memberikan manfaat juga kepada orang lain. Rajin mencari ILMU  sekaligus Rajin pula beramal. Etos tinggi dalam bekerja mencari penghidupan sekaligus tinggi pula nilai belanja harta yang dititipkan untuk akheratnya.

Semoga kita termasuk generasi pohon yang baik dan akan diteruskan generasi-generasi yang lebih baik, kuat dan tunduk patuh kepada Allah Swt.


*) dari Jamaah MPI Ahad Pagi

kitab Al-Washaya ( wasiat )

PENGERTIAN WASIAT
Washiat berasal dari washai tusy a uushiihi berarti aushaltuhu (saya menyambungkannya).
Jadi, orang yang berwasiat adalah orang yang menyambung apa yang telah ditetapkan pada waktu hidupnya sampai dengan sesudah wafatnya.
Adapun menurut istilah syar’i ialah seseorang memberi barang, atau piutang, atau sesuatu yang bermanfa’at, dengan catatan bahwa pemberian termaksud akan menjadi hak milik si penerima wasiat setelah meninggalnya si pemberi wasiat.
 
HUKUM WASIAT
Wasiat wajib atas orang yang memiliki harta yang harus diwasiatkan. Allah swt berfirman:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda), maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Baqarah: 180).
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang muslim yang memiliki harta yang akan diwasiatkan tidak berhak tidur dua malam, melainkan wasiatnya sudah tertulis di sisinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 355 no: 2738, Muslim III: 1249 no: 1627, ’Aunul Ma’bud VIII: 63 no: 2845, Tirmidzi II: 224 no: 981, Ibnu Majah II: 901 no: 2699 dan Nasa’i VI: 238).
 
KADAR BANYAKNYA HARTA YANG DIANJURKAN DIWARISKAN
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, ia bertutur: Nabi saw pernah datang menjengukku waktu di Mekkah. Dan, saya tidak suka meninggal dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, “Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak.” (Sa’ad) jawab, “Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta kekayaanku?” Jawab Beliau, “Tidak (boleh).” Tanya saya, “Separuh?” Jawab Beliau, “Tidak (juga).” Saya bertanya (lagi), “Sepertiga?” Dijawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfa’at darimu dan orang-orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya.” Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang puteri. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 363 no: 2742 dan ini lafazh Imam Bukhari, Muslim III: 250 no: 1628, ’Aunul Ma’bud VIII: 64 no: 2847, dan Nasa’i VI: 242).
 
TAK ADA WASIAT BAGI AHLI WARIS
Dari Abu Umamah al-Bahili ra, ia menyatakan: Saya pernah mendengar Rasulullah saw menegaskan dalam khutbahnya pada waktu haji wada’, “Sesungguhnya Allah benar-benar telah memberi setiap orang yang mempunyai hak akan haknya. Oleh karena itu, tak ada wasiat bagi ahli waris.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2194, Ibnu Majah II: 905 no: 2713, ‘Aunul Ma’bud VIII: 72 no” 2853 dan Tirmidzi III: 393 no: 2203.
 
MUQADDIMAH YANG DITULIS DALAM WASIAT
Dari Anas ra, ia berkata, “Adalah mereka (para sahabat) biasa menulis di awal wasiatnya, (yang artinya), Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Ini adalah wasita Fulan bin Fulan yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa hari kiamat pasti akan datang tak diragukan sedikitpun, dan bahwa Allah akan membangkitkan segenap penghuni alam kubur dan ia (Fulan bin Fulan) berwasiat kepada seluruh anggota keluarga yang ditinggal mati agar bertakwa kepada Allah, mengadakan ishlah sesama mereka, dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, jika memang mereka orang-orang yang beriman, dan ia berwasiat kepada mereka sebagaimana wasiat yang Ibrahim sampaikan kepada anak cucunya dan Ya’kub: Wahai Nanda, sesungguhnya Allah telah memilih agama Islam untuk kalian; karena itu, janganlah sekali-kali kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam keadaan muslim).” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1647, Daruquthni IV: 154 no: 16 dan Baihaqi VI: 287).
 
KAPAN WASIAT MENJADI HAK MILIK PENUH
Wasiat tidak akan menjadi hak milik penuh bagi si penerima wasiat, kecuali setelah meninggalnya si pemberi wasiat dan terlunasinya seluruh hutangnya. Jadi, manakala seluruh harta peninggalan habis untuk dibayarkan pada hutang-hutangnya, maka sang penerima wasiat tidak mendapatkan bagian apa-apa:
Dari Ali ra, ia berkata: “Rasulullah saw biasa membayar hutang sebelum (dipenuhinya) wasiat; dan kalian (sering) membaca ayat tentang wasiat, MINBA’DI WASHIYYATIN YUUSHAA BIHAA AU DAIN (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya).” (QS an-Nisaa’: 11) (Hasan: Shahih Ibnu Majah 2195, Irwa-ul Ghalil 1667, Ibnu Majah II: 906 no: 2715, Tirmidzi III: 294 no: 2205).
 
PERINGATAN
Mengingat mayoritas masyarakat di zaman sekarang ini amat tertarik pada perbuatan bid’ah dalam agama mereka, terutama hal-hal yang bertalian dengan jenazah, maka menjadi suatu kewajiban atas orang muslim berwasiat agar ia dipersiapkan dan dikebumikan sesuai tuntunan sunnah Nabi saw, sebagai bentuk realisasi dari firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS at-Tahrim: 6).
Oleh karena itu, adalah para sahabat Nabi biasa mewasiatkan masalah itu, dan dalam hal itu banyak sekali atsar (riwayat) dari mereka. Di antaranya ialah:
Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa bapaknya (yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash) pada waktu sakit yang menyebabkan kematiannya berkata, “Galilah liang lahad untukku dan tegakkanlah batu bata untukku sebagaimana yang pernah dilakukan untuk Rasulullah saw.” (Periksa kembali Ahkamul Janaiz hal. 8 oleh Syaikh al-Albani).
PERINGATAN KEDUA
Manakala seseorang mempunyai anak yang berhak menjadi ahli waris yang telah meninggal dunia ketika ia masih hidup, maka ia wajib berwasiat untuk putera-puteri si mayyit itu, senilai dengan bagian yang menjadi hak sang mayat, atau sekitar sepertiga dari hartanya dan sepertiga itu sudah banyak. Jika ternyata orang di atas meninggal dunia juga dan tidak sempat memberi wasiat kepada anak-anak sang mayat, maka mereka (ahli warisnya) harus memberikan sebesar bagian yang harus diwasiatkan kepada mereka (kepada anak-anak si mayat tadi), karena ini sesungguhnya adalah tanggungan wajib ia (sang ayah) selesaikan, maka jika ia meninggal dunia dan ia belum sempat menulis penyelesaian tanggungan ini maka tanggungan ini belum terselesaikan. Inilah yang berlaku di pengadilan-pengadilan pada zaman ini.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 789 - 794.

Senin, 06 Januari 2014

KEMULIAN AHLUL BAIT DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH

Segala puji bagi Allah Yang Maha Sempurna dalam segala sifat dan perbuatan-Nya, Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya, Yang Maha Bijaksana dalam segala keputusan-Nya.
Berikutnya selawat dan salam buat Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam yang telah diutus untuk sebagai pembawa rahmat kepada seluruh alam. Tidaklah sempurna keimanan seseorang sampai ia mencintai Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melebihi dari mencintai orang tua dan anaknya serta manusia seluruhnya, bahkan dari dirinya sendiri.
Beliau bersabda:
((لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين)) [متفق عليه].
“Tidaklah sempurna iman salah seorang kalian samapai aku lebih ia cintai dari orang tua dan anaknya serta manusia seluruhnya”.[1]
Diantara bukti penghormatan dan kecintaan seseorang kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam adalah mencintai dan memuliakan keluarga beliau. Sebagaimana beliau perintahkan dalam sabdanya:
((أذكركم الله في أهل بيتي)) .
Aku ingatkan kalian pada Allah tentang (hak-hak) kelurgaku“[2].
Berkata Imam Baihaqy: ”Termasuk bagian dari menganggungkan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam adalah menghormati para keluarganya serta anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar” [3].
Dalam bahasan kali ini, kita akan mengupas tentang pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah tentang kemulian Ahlul Bait (Keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) dan kelompok yang menyimpang dalam mencintai Ahlul Bait. Topik ini akan kita bagi kepada beberapa bagian sebagaimana berikut:
  1. Tujuan Pembahasan.
  2. Pengertian Ahlul Bait.
  3. Dalil dari ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang kemulian Ahlul Bait.
  4. Dalil dari Sunnah yang menerang tentang kemulian Ahlul Bait.
  5. Perkataan para ulama Ahlussunnah tentang kemulian Ahlul Bait.
  6. Kelompok yang menyimpang dalam mencintai Ahlul Bait.

( Tujuan Pembahasan )
Tujuan kita membahas topik ini adalah:
  • Penjelasan kepada kaum muslimin, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam (Ahlul Bit) sesuai pandangan Ahlusunnah wal Jama’ah.
Para ulama Ahlussunnah yang menulis kitab-kitab Aqidah tidak pernah melewatkan tentang topik ini. Ini menunjukkan akan penting dan urgennya masalah ini untuk diketahui oleh setiap muslim, sehingga para ulama kita menjadikan cinta Ahlul Bait sebagai bagian dari pokok-pokok aqidah Ahlussunnah.
  • Sebagai jawaban dan bantahan terhadap orang atau kelompok yang mengskriditkan dan menuduh Ahlussunah tidak mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam).
Isu ini telah lama disebarkan dan dimamfaatkan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah untuk mempengaruhi orang-orang awam Ahlussunnah agar menerima ajaran Syi’ah rafidhah. Bahkan hal ini adalah salah isu santer yang mereka tuduhkan setiap saat kepada Ahlussunnah. Maka melalui bahasan ini kita buktikan kebohongan tuduhan mereka tersebut.
  1. Adanya kelompok yang menjadikan sikap kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai alat untuk memecah belah kaum muslimin dan mengiring mereka kearah kesesatan dan kekufuran. Bahkan mereka menjadi sikap cinta Ahlul bait sebagai alat untuk menutup-nutupi berbagai kesesatan dan kebatilan yang mereka lakukan. Mereka menisbahkan berbagai macam bentuk perkataan dan perbuatan bid’ah dan kufur kepada Ahlul bait dengan penuh kedustaan dan kebohongan.
  2. Adanya sebagian orang yang menjadikan menisbahkan diri kepada Ahlul Bait sebagai alat untuk membohongi manusia dan mengeruk keuntungan duniawi dibalik itu. Dimasa sekarang banyak orang yang mengaku sebagi keturunan Ahlul bait demi untuk mencari perhatian, kemulian dan kedudukan di tengah-tengah umat manusia.
  3. Untuk membersihkan Ahlul Bait dari berbagai tuduhan batil yang disandarkan kepada mereka. Dan sesungguhnya Ahlul Bait berlepas diri dari berbagai tuduhan-tuduhan tersebut.

( Pengertian Ahlul Bait )
Ahlul Bait adalah mereka yang diharamkan menerima sedekah dan zakat.
Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
«إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ».
“Sesungguhnya sedekah-sedekah ini adalah kotoran dosa manusia dan sesumgguhnya ia tidak hala bagi Muhammad dan tidak pula bagi para keluarga Muhammad”.[4] (HR. Muslim).
Mereka yang diharamkan atas mereka sedekah yang disebut Ahlul Bait (keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) adalah para isteri dan keturunan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta dan siapa saja yang beriman dari Banu Hasyim dan Banu Muththalib. Sebagaimana yang  disebutkan oleh para ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka[5].
Seperti Imam Muslim memberi judul salah satu bab dalam kita shohih beliau:
“باب تَحْرِيمِ الزَّكَاةِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعَلَى آلِهِ وَهُمْ بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ دُونَ غَيْرِهِمْ”.
“Bab: Tentang haramnya zakat untuk Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para keluarganya yaitu Banu Hasyim dan Banu Muththalib, tidak (diharamkan) selain mereka”.
Adapun tentang masuknya para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam bagian Ahlul Bait adalah berdasarkan firman Allah berikut ini:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا [الأحزاب/33]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan firman Allah tersebut: “Hal ini adalah konteks sekali secara tegas memasukkan para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam bagian Ahlul Bait di sini. Karena mereka adalah sebagai sebab diturunkannya ayat tersebut. Sedang penyebab diturunkannya ayat adalah termasuk kedalam kandungan makna ayat tersebut, menurut kesepakatan para ulama, bisa jadi secara tunggal menurut salah satu pendapat, atau bersama yang lainnya menurut pendapat yang kuat”[6].
Selanjutnya beliau berkata lagi: “Suatu hal yang tidak diragukan lagi tentangnya -bagi orang yang memahami Al Qur’an- bahwa para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam termasuk kedalam firman Allah: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait! dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Karena hubungan konteks pembicaraan adalah bersama mereka. Karena itu sesudahnya Allah berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ [الأحزاب/34]
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian (isteri- isteri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan hikmah”. Artinya hendaklah kalian (isteri-isteri nabi) amalkan apa yang diturunkan Allah kepada RasulNya di rumah kalian dari ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah”[7].
  • Ahlul bait menurut pandangan sekte Syi’ah Rafidhah.
Adapun menurut orang Syi’ah Rafidhaah, Ahlul Bait tersebut hanya terbatas pada keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu, kemudian mereka batasi lagi dari keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu keturnan Husain Radhiallahu ‘anhu.
Padahal jika kita perhatikan nasab (garis keturunan) Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang hal tersebut, amat banyak sekali dari anak paman beliau selain dari anak Abu Thalib. demikian pula dari anak Abu Thalib selain Ali Radhiallahu ‘anhu. Begitu pula dari anak Ali Radhiallahu ‘anhu selain keturunan Husain Radhiallahu ‘anhu.
Seperti Hasan Radhiallahu ‘anhu, kakak dari Husain memiliki keturunan yang begitu banyak dan ada yang dikenal keturunannya sampai sekarang.
Demikian pula anak Abu Thalib yang masuk Islam ada selain Ali Radhiallahu ‘anhu, seperti ‘Uqail dan Ja’far, yang keduanya juga memiliki keturunan yang banyak.
Demikian pula Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam mempunyai pama-paman lain yang masuk Islam dan juga mempunyai anak yang masuk Islam, seperti Hamzah, Harits dan Abbas. Dan anak Abbas yaitu Abdullah bin Abbas beliau adalah salah seorang sahabat yang sangat masyhur.
Bahkan diantara kesesatan Syi’ah lagi dalam hal ini adalah mengeluarkan para isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dari bagian Ahlul Bait. Mereka tidak mau menjadikan para ummahatul mukminiin sebagai bagian dari Ahlul Bait. Bahkan sebaliknya mereka mencaci para ummahatul mukminiin, terutama sekali wanita yang paling dicintai Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam yaitu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dan yang lebih sesat lagi, mereka anggap cacian-cacian tersebut sebagai salah satu sarana untuk beribadah kepada Allah.
Pada hal Rasulullah nyata-nyata meneybutkan dalam sabdanya, bahwa isteri beliau termasuk kedalam bagian Ahlul Bait. Sebagaimana terdapat dalam kisah tuduhan buruk orang-orang munafik tehadap ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
((من يعذرني من رجل بلغني أذاه في أهلي فوالله ما علمت على أهلي إلا خيرا وقد ذكروا رجلا ما علمت عليه إلا خيرا وما كان يدخل على أهلي إلا معي)) [رواه البخاري]
“Siapa yang siap membelaku dari seseorang yang menyakiti keluargaku. Demi Allah aku tidak mengetahui tentang keluarga kecuali yang baik. Dan mereka juga menyebut seseorang yang tidak aku ketahui tentangnya kecuali baik. Dan ia tidak pernah masuk kerumahku kecuali bersamaku”.[8]
  • Hukum berdusta atas nama Ahlul Bait.
Di sisi lain ada pula orang yang mengaku-ngaku dari keturnan Ahlul Bait demi untuk mendapat kedudukan dan kemulian serta kesenangan duniawi, pada hal ia buka keturunan Ahlul Bait.
Orang yang menisbahkan diri kepada keturunan orang lain pada hal ia tidak dari ketutrunan mereka, maka hal ini adalah suatau kedustaan yang paling besar dan ia akan dilaknat oleh Allah dan para malaikat serta manusia seluruhnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
((إن من أعظم الفرى أن يدعي الرجل إلى غير أبيه)). [رواه البخاري]
“Sesungguhnya diantara kedustaan yang paling besar adalah seseorang yang mengaku kepada bukan ayahnya”.[9]
Dalam riwayat lain:
عن علي  رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: « وَمَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً ». [رواه مسلم]
Dari Ali Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengaku bukan kepada ayahnya atau menyandarkan diri kepada bukan kaumnya. Maka atasya adalah laknat Allah dan para malaikat serta manusia seluruhnya. Allah tidak akan menerima darinya pada hari kiamat amalan wajib dan tidak pula amalan lainnya”.[10]
Satu hal yang perlu kita cermati di sini, ketika hadits ini diriwayatkan oleh Ali Radhiallahu ‘anhu, hal ini di sampaikan Ali Radhiallahu ‘anhu di atas mimbar Kufah sebagai peringatan terhadap orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai ahlul bait.
  • Menjadikan selogan Ahlul Bait untuk melegalkan bid’ah dan kesesatan.
Sebahagian orang ada yang menjadikan selogan Ahlul Bait sebagai otoritas untuk merekayasa dan melegalkan ajaran-ajaran sesat di tengah-tengah umat Islam. Seharusnya jika mereka benar-benar Ahlul Bait, tentulah mereka akan benar-benar mengamalkan dan membela ajaran yang dibawa oleh kakek mereka yang mulia yaitu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Karena hubungan keturunan tidak akan berarti apa-apa bila tidak dilandasi dengan iman dan taqwa. Oleh sebab itu tidak ada arti hubungan keturunan bagi Abu Lahab dan Abu Thalib ketika keduanya enggan untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh anak sudaranya yakni Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Sebagaimana pula halnya keluarga para nabi sebelum Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam, seperti isteri dan anak nabi Nuh ‘Alaihis Salam, bapak nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, dan isteri nabi Luth ‘Alaihis Salam. Sekalipun mereka tersebut keluarga para nabi, namun hubungan keturunan tidak bisa menghalangi azab Allah.
Demikian pula orang-orang yang mengaku keturunan Ahlul Bait, jika mereka enggan untuk mengikuti syari’at Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam atau membuat ajaran yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam, maka dengan sendirinya mereka tersebut telah mengeluarkan diri mereka dari bagian Ahlul Bait. Sekalipun pada kenyataannya mereka benar-benar keturunan Ahlul Bait. Sebab hubungan keturunan tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan iman dan amal sholeh.
Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
« وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ ». [رواه مسلم]
“Barangsiapa yang dilambatkan amalnya tidak akan bisa dipercepat oleh hubungan  keturunnya”.
Sebagaimana pula beliau katakan kepada paman dan anak perempuan beliau sendiri:
« يَا بَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَلِينِى بِمَا شِئْتِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ». متفق عليه.
 “Wahai anak keturunan Abdul Muthalib! Aku tidak dapat membela kalian sedikitpun dari Allah, wahai Abbas bin Abdul Muthalib aku tidak dapat membela kalian engkau dari Allah, wahai Shofiyah bibik Rasulullah aku tidak dapat membela engkau sedikitpun dari Allah, wahai Fatimah binti Rasulullah! Mintalah apa yang engkau mau, aku tidak dapat membela engkau sedikitpun dari Allah”.

( Kemulian Ahlul Bait Dalam Al Qur’an )
Berikut ini kita sebutkan ayat yang menerangkan keutamaan Ahlul bait serta kometar para ulama tafsir dalam menjelaskan ayat tersebut.
Isteri sesorang adalah merupakan bagian dari keluarganya. Sebagaimana ketika Allah menceritakan tentang keluarga Nabi Ibrohim ‘Alaihis Salam.
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ [هود/73]
“Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Imam Qurtuby berkata[11]: “Ayat ini memberi penjelasan bahwa isteri seseorang termasuk bagian dari keluarganya (Ahlu baitihi). Hal ini menunjukkan bahwa isteri para nabi adalah bagian dari keluarganya (Ahlu baitihi). Maka ‘Aisyah radhialllahu ‘anha dan lainnya adalah termasuk dari jumlah Ahlul bait Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, yakni termasuk diantara orang yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا [الأحزاب/33]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Lalu ketika menafsirka ayat tersebut di atas Imam Qurtuby berkata[12]: ”Allah telah memuliakan isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dengan menjadikan mereka sebagai ummahatul mukminin (ibunda orang-orang beriman). Yaitu dalam hal tentang wajibnya memuliakan, berbuat baik, menghormati dan diharamkan menikahinya atas kaum laki-laki. Hal yang membedakan mereka dari ibu kandung sndiri adalah mereka diwajibkan untuk berhijab dari (kaum laki-laki yang bukan mharam)”.
Demikian pula syeikh Syanqiithy memjelaskan ayat yang sama dan membantah pendapat yang mengeluarkan isteri nabi dari bagian Ahlull bait[13]: ”Sesungguhnya Qorinah (bukti) dari maksud konteks ayat secara tegas menyatakan bahwa para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam termasuk kedalam ayat tersebut. Karena diawal ayat Allah berfirman:
{قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ}
”Katakanalah kepada Iisteri-isterimu jka mereka menginginkan ….”
Lalu setelah itu Allah berfirman:
{إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ}
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait”
Lalu Allah lanjutkan dengan firman-Nya:
{وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ}
”Dan ingatlah (isteri-isteri nabi) apa yang dibacakan di rumahmu”
Maksud syeikh Syanqiithy adalah bahwa Ayat–ayat di atas semuanya bercerita tentang isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Dan ayat yang menyebutkan tentang ahlul bait berada diantara ayat-ayat tersebut, maka hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan Ahlul bait adalah mereka isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Kemudian beliau kemukakan dalil lain bahwa isteri seseorang adalah termasuk yang disebut keluarganya (Ahlu Baitihi). Kata beliau: “Hal yang sama,  dari prihal masuknya para isteri dalam sebutan Ahlul Bait adalah firman Allah tentang isteri nabi Ibrohim ‘Alaihis Salam:
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ}.
“Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Adapun dalil yang menunjukkan tentang masuknya selain mereka (isteri-isteri) kedalam ayat tersebut adalah berdasarkan hadits dari Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, bahwa ia bersabda tentang Ali, Fathimah, Hasan dan Husain mereka adalah bagian dari ahlul bait. Dan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam berdo’a kepada Allah untuk mereka agar dihilangan kotoran dosa dari mereka dan dibersihkan dengan sebersih-bersihnya. Hal tersebut telah diriwayatkan oleh sekolompok sahabat dari Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Diantara mereka adalah Ummul mukminin Ummu Salamah, Abu Sa’id, Anas, Watsilah bin Asqo’ dan Ummul mukminin ‘Aisyah serta yang lainnya”[14].
Jika ada yang berkata: sesungguhnya dhomir (kata ganti) dalam ayat: {لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ} dan {يُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً} mennggunakan kata ganti untuk laki-laki! Kalau seandainya yang dimaksud isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam tentu akan di gunakan kata ganti untuk permpuan ليذهب عنكن ويطهركن!
Maka jawabanya dari dua sisi:
Pertama: Seperti yang telah kita jelaskan bahwa ayat tersebut mencakup mereka (isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan lain mereka yaitu; Ali, Hasan, Husain dan Fathimah. Seluruh ulama pakar bahasa terlah bersepakat bila digabung antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah ungkapan maka digunakan kata ganti laki-laki.
Kedua:  Diantara bentuk uslub (tata) bahasa Arab -yang dengannya diturunkan Al Qur’an- bahwa isteri seseorang disebut Ahlu (keluarga), dan kalimat tersebut juga dipergunakan untuk penyebutan plural (jama’) laki-laki. Alasan digunakan kata ganti laki-laki dalam ayat tersebur agar sesuai dengan lafaz Ahlu. (Sedangakan yang dimaksud Ahlu di sini ialah iterinya). Seperti firman Allah tentang Musa ‘Alaihis Salam ketika ia berkata isterinya:
إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا سَآَتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ آَتِيكُمْ بِشِهَابٍ قَبَسٍ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ [النمل/7]
“Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya: “Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang.”
Pada ayat yang lain:
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (9) إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آَتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ [طه/9، 10]
”Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu”.
Lawan bicara Nabi Musa ‘Alaihis Salam di sini adalah isterinya, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama”.
Melalui apa yang dijelaskan oleh syeikh Syanqiithy di atas dapat kita simpulkan beberapa hal:
  1. Bahwa yang dimaksud tentang Ahlul Bait dalam surat Al Ahzaab adalah para isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam karena ayat tersebut turun di rumah mereka. Demikian pula dengan melihat konteks ayat yang sebalum dan sesudahnya, jika kita cermati dengan seksama semuanya berbicara tentang isteri-isteri Rsulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Mulai dari ayat no 28 dari surat Al Ahzaab sampai pada ayat no 34 pada surat yang sama, seluruh berbicara tentang isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Sedangkan ayat yang mengenai Ahlul Bait berada diperantaraan ayat-ayat tersebut, yaitu pada ayat no 33.
  2. Masuknya selain isteri-isteri nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam kandungan makna ayat tersebut tidak berdasarkan ayat, karena ayat turun di rumah isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa mereka termasuk kedalam makna ayat tersebut. Seprti hadits berikut ini[15]:
قَالَتْ عَائِشَةُ خَرَجَ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ جَاءَ الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جَاءَ عَلِىٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قَالَ (إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا)
‘Aisyah berkata: “Pada suatu pagi Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam keluar berselimu kain yang disulam berwarna hitam. Lalu datang Hasan bin Ali maka ia selimuti, kemudian datang Husain maka ia selimuti bersama, kemudian datang Fathimah maka ia selimuti pula, kemudian datang Ali maka ia selimuti juga. Kemudian beliau membaca firman Allah:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
  1. Bahwa para sahabat tidak pernah menyembunyikan keutamaan Ali Radhiallahu ‘anhu dan keluarganya. Jika kita cermati riwayat di atas adalah dari ‘Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah tidak menyembunikan keutamaan Ali dan keluarganya apa lagi sampai membenci mereka. Demikian pula para ulama Ahlussunnah tidak pernah menyembunyikan keutamaan Ahlul bait, sebagaiman yang dituduhkan oleh kaum syi’ah Rafidhah. Buktinya kitab-kitab Ahlussunnah penuh dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul bait. Akan tetapi memang tidak memuat riwayat-riwayat palsu yang sampai pada tingkat mengkultuskan Ahlul bait.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah tentang keutamaan dan kemulian para isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam[16]: “Diantara pokoko-pokok aqidah Ahlussunnah adalah mereka beroyalitas kepada isteri-isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam, Ummahatul mukminin (ibunda orang-orang beriman)…. ».
Sebagaimana Alah nyatakan dalam firman-Nya :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ [الأحزاب/6]
«Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka».
( Kemulian Ahlul Bait Dalam Sunnah )
Berikut ini kita sebutkan beberapa hadits yang menunjukkan tentang kewajiban memuliakan Ahlul bait:
  • Hadits pertama:
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bekhutbah di hadapan para sahabat sekembalinya beliau dari melaksanakan haji Wada’ di suatu temapat antara Makkah dan Madinah di sebur Ghadiir Khum:
« أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى ».
“Berikutnya; Ketahuilah wahai para manusia! Sesungguhnya aku adalah sorang manusia, boleh jadi sudah dekat kedatangan utusan Rabbku, lalu aku menjawabnya. Dan aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara; pertama; Kitabullah (Al Qur’an). Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah dan berpegang teguhlah dengannya. (Berkata rawi hadits): maka ia mendorong dan menganjurkan untuk berpegang teguh dengannya. Kemudia ia (Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) berkata: Dan keluargaku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang (hak-hak) keluargaku. Beliau mengulangnya tiga kali” [17].
Dalam hadits ini Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam memberitahukan kepada para sahabat tentang ajal beliau yang sudah dekat. Hal Ini menunjukkan akan pentingnya nasehat tersebut untuk senantiasa mereka jaga. Nasehat pertama berpegang teguh dengan Al Qur’an. Nasehat kedua menjaga hak-hak keluarga beliau. Yang dimaksud dengan hak-hak keluarga beliau adalah memuliakan dan menghormati mereka. Dan mengikuti nasehat-nasehat mereka selama sesuai dengan ajaran yang beliau tinggalkan. Adapun jika ada pendapat mereka yang tidak sesuai dengan ajaran yang beliau tinggalkan, maka kita tidak boleh taklit kepada mereka. Karena hadits tersebut tidak ada perintah untuk wajib berpegang teguh dengan segala perkataan mereka. Sebagaimana yang dipahami oleh sebahagian orang.
Berkata Imam Qurtuby: ”Wasiat ini dan ketegas ini adalah menunjukkan tentang wajibnya menghormati keluarga beliau, berbuat baik, memuliakan dan mencintai mereka. Kewajiban yang sangat ditekankan, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk tidak melaksanakannya.” [18].
  • Hadits kedua:
« إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ ».
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinaanah dari anak keturunan Ismail. Dan memilih Quraisy dari kalangan suku Kinaanah. Dan memilih Bani Hasyim dari kalangan bangsa Quraisy. Dan memilih aku dari kalang Bani Hasyim”[19].
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keutamaan Bani Hasyim. Karena mereka memiliki sifat-sifat baik dan terpuji yang lebih menonjol dari sukuk-suku lain, maka Allah memilih Rasul yang paling mulia dari kalangan suku mereka.
  • Hadits ketiga:
((أنا محمَّدُ بْنُ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ إنَّ اللَّهَ تعالى خَلَقَ الخَلْقَ فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ ثمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ فجَعَلَني في خيْرِهِمْ فِرْقَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ قَبائِلَ فَجَعَلَنِي في خيْرِهِمْ قَبِيلَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ بُيُوتاً فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ بَيْتاً فأنا خَيْرُكُمْ بَيْتاً وأنا خَيْرُكُمْ نَفْساً)).
“Saya adalah anak Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan makhluk, lalu Ia menjadikan aku dalam bagian mereka yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka kepada dua golongan, maka Allah menjadikan aku pada golongan yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka berbangsa-bangsa, maka Allah menjadikan aku pada bangsa yang terbaik. Lalu Allah menjadikan mereka bersuku-suku, maka Allah menjadikan pada suku yang terbaik. Aku adalah yang terbaik diantara dari segi suku dan jiwa”[20].
Dalam hadits ini juga terdapat kemulian Ahlul bait karena Allah telah memilih Nabi yang paling mulia dari suku mereka. Akan tetapi kemulian ini secara umum tidak secara person (setiap pribadi) mereka. Karena dari kalangan luar Ahlull bait secara person ada yang lebih mulia dari sebagian person Ahlul bait. Seperti jawaban Ali Radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh anaknya sendiri Muhammad Ibnul Hanafiah:
((عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لأَبِى أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ Sallallahu Alaihi Wa Sallam ؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ. قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَةِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ)).
“Dari Muhammad Ibnu Hanafiyah, ia berkata: aku bertanya pada ayahku, siapa manusia yang paling baik setelah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam?. Jawabnya: Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Kemudia aku tanya lagi, kemudian siapa? Jawabnya: Umar Radhiallahu ‘anhu. Kemudian aku cemas bila ia katakan Utsman, maka aku katakan: kemudian engkau ya ayahku? Ia menjawab: aku ini hanyalah salah seorang dari kaum muslimin”[21].

( Ungkapan Ulama Ahlussunnah Tentang Kemulian Ahlul Bait )
Jika kita membaca kitab-kitab para ulama niscaya akan kita dapati begitu banyak ungkapan mereka tentang wajibnya memuliakan dan menghormati Ahlull bait. Berikut ini kita sebutkan ungkapan para ulama Ahlussunnah, terutama yang sering mendapat tuduhan bahwa mereka tidak memuliakan Ahlul bait. Agar terbukti kebohongan orang-orang yang menuduh mereka tidak mencintai Ahlul bait.
  • Perkataan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang dari khalifah Bani Umayyah.
Berkata Umar bin Abdul Aziz kepada Abdullah bin Hasan bin Husain (cucu dari Husain bin Ali Radhiallahu ‘anhu): “Jika engkau ada kebutuhan maka tulislah kepada! Sesungguhnya aku malu kepada Allah bila Ia melihat engkau (berdiri) di depan pintu rumahku. Tidak ada di muka bumi ini keluarga yang lebih aku cintai daripada kalian. Sungguh kalian lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri”[22].
Pada suatu kali yang lain ia berkata pula kepada Fathimah binti Ali Radhiallahu ‘anhu (anak perempuan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu): “Wahai anak perempuan Ali! Demi Allah tidak ada di muka bumi ini keluarga yang lebih aku cintai daripada kalian. Sungguh kalian lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri”[23].
Sengaja kita sebutkan di sini perkataan Umar bin Abdul Aziz untuk membantah prasangka buruk yang senantiasa dituduhkan oleh sekolompok orang terhadap keluarga Bani Umaiyyah, bahwa mereka memusuhi atau membenci Ahlul bait. Melalui ungkapan Umar bin Abdul Aziz di atas amat jelas bagaimana bersarnya kemulian Ahlul bait dalam pandangannya. Dan ini sebagai bukti bahwa tidak ada permusuhan antara bani Umayyah dengan Ahlul bait. Yang ada hanyalah kecintaan dan penghargaan yang tinggi terhadap Ahlul bait. Di sini terbuktilah kebohongan tuduhan kelompok yang senantiasa menyebarkan prasangka buruk tersebut.
  • Perkataan Imam Al Ajurry.
Berkata Imam Al Ajurry: “Diwajibkan atas setiap orang mukmin laki-laki dan orang mukmin perempuan mencintai keluarga (Ahlul bait) Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Yaitu: Bani Hasyim; Ali bin Abi Thalib beserta anak dan cucu-cucunya, Fathimah beserta anak dan cucu-cucunya, Hasan dan Husain beserta anak dan cucu-cucunya, Ja’far Ath Thayyaar beserta anak dan cucu-cucunya, Hamzah beserta anak dan cucu-cucunya, Abbas beserta anak dan cucu-cucunya. Mereka itulah keluarga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Diwajibkan atas orang-orang muslim mencintai dan memuliakan mereka”[24].
Dari ungkapan Imam Al Jurri di atas menjadi jelas bagi kita bahwa Ahlul bait tersebut tidak hanya keturunan Ali saja atau keturnan husain saja, sebagaimana asumsi orang-orang Syi’ah Rofidhah. Akan tetapi mencakup siapa saja yang beriman dari paman-paman Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta anak dan cucu-cucu mereka.
  • Perkataan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah: “Diantara pkok-pokok aqidah Ahlussunnah …bahwa sesungguhnya mereka mencintai para keluarga (ahlul bait) Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan berolayalitas pada mereka serta menjaga benar wasiat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam ketika ia bersabda pada hari Ghadiir KKhum[25]:
((أذكركم الله في أهل بيتي)) .
Aku ingatkan kalian pada Allah tentang (hak-hak) kelurgaku“[26].
Beliau juga berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa bagi keluarga nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam memiliki hak di atas umat ini yang tidak diesrtai oleh selain mereka. Mereka berhak untuk lebih dicintai dan dimuliakan, yang mereka tidak disertai oleh suku-suku Quraisy yang lain[27]“.
Dari ungkapan beliau ini terbantah pulalah tuduhan bohong kepada beliau, bahwa beliau tidak mencitai keluarga Rasul Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Seungguhnya ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ungkapan yang di atas sangat banyak sekali dalam kitab-kitab beliau.
  • Perkataan syeikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Berkata syiekh Muhammad bin Abdul Wahab: “Saya mencintai para sahabat Rasul Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Begitu pula para keluarga beliau. Saya memuji mereka. Dan mendo’akan semoga Allah meridhai mereka. Saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka”[28].
Dari sini juga terbukti kebohongan yang dituduhkan kepada syeikh Muhammad bin Abdul Wahab bahwa beliau tidak mencintai Ahlul bait. Ungkapan yang semakna juga sering terulang dalam kitab-kitab beliau.
Bahkan beliau menamakan anak-anak beliau nama Ahlul bait sebagai atas kecintaan beliau pada Ahlul bait. Diantara anak-anak beliau ada yang benama; Ali, Hasan ,Husain dan Fathimah[29].

( Kelompok Yang Menyimpang Dalam Mencintai Ahlul Bait )
Banyak orang yang beranggapan bahwa mazhab para Ahlul bait  adalah aliran syi’ah Rafidhah yang tercela. Sehingga isu tersebut menyebabkan sebagahagian orang membenci  Ahlull BAit. Ini adalah persepsi yang salah dan keliru. Anggapan tersebut merupakan penghinaan dan pencemaran terhadap nama baik Ahlul bait, seakan-akan mereka adalah para penyeru kepada bid’ah dan khurafat. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena para Ahlul bait tersebar di berbagai belahan pelosok dunia sesuai dengan menyebarnya agama Islam keberbagai penjuru dunia. Dan mereka menganut mazhab yang tersebar di tengah-tengah masyarakat di mana tempat mereka tinggal.
Berkata imam Asy Syaukany: “Sesungguhnya mereka (para Ahlul bait) telah terpencar-pencar di berbagai tempat. Mereka tinggal diberbagai negeri yang berjauhan. Dan masing-masing dari mereka mengukuti mazhab negeri dimana mereka tinggal”[30].
Jika kita mencoba mengenal biografi para ulama Ahlussunnah, niscaya akan kita dapati tidak sedikit diantara mereka adalah dari kalangan Ahlul bait. Merka adalah para pejuang agama dan memerangi berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan serta para pelakunya. Demikian pula jika kita menganal pusat-pusat kajian Ahlussunnah yang menyebarkan ilmu di Yaman, niscaya akan kita temui di sana para masyikh dan da’i yang menyebarkan ilmu adalah dari kalangan Ahlul bait. Yang mana dengan sebab keberadaan mereka, banyak sekali manusia yang mendapat hidayah kepada jalan yang lurus.
Para Ahlul bait tidak pernah memiliki mazhab tertentu. Seperti yang tuturkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu keitka ia menjawab pertanyaan salah seorang sahabat yaitu Abu Juhaifah Radhiallahu ‘anhu: Apakah kalian memiliki sesuatu yang tidak terdapat dalam Al Qur’an? Pada kali yang lain ia bertanya: Apakah kalian memiliki sesuatu yang tidak ada pada manusia lain? Jawab Ali Radhiallahu ‘anhu:
((والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما عندنا إلا ما في القرآن -إلا فهماً يعطى رجل في كتابه- وما في الصحيفة. قلت: وما في الصحيفة؟ قال: العقل وفكاك الأسير وأن لا يقتل مسلم بكافر)).
“Demi Zat yang menumbuhkan biji-bijian, dan yang menciptakan jiwa. Tidak ada di sisi kecuali apa yang terdapat dalam Al Qur’an, yaitu kecuali pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang tentang kitabNya. Dan apa yang ada dalam lembaran ini. Abu Juhaifah bertanya: apa yang ada dalam lembaran tersebut? Jawab Ali Radhiallahu ‘anhu: Hukum diat, hukum tentang pembebasan tawana, dan tidak boleh dibunu seorang lantaran membunuh seorang kafir”[31].
Dalam jawaban Ali Radhiallahu ‘anhu di atas terbukti segala kebohongan tentang adanya wasiat untuk Ali Radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menjadi khalifah setelahnya. Kemungkinan pertanyaan tersebut diajukan oleh Abu Juhaifah Radhiallahu ‘anhu karena adanya desas-desus tentang wasit tersebut, sehingga Abu Juhaifah ingin menanyakan secarang lasung pada Ali Radhiallahu ‘anhu.
Orang-orang Syi’ah Rafidhah menganggap diri mereka orang yang paling mencintai Ahlul bait, dan selain mereka menzalimi Ahlul bait. Pada hal sebenarnya orang-orang Rafidhah-lah yang telah menzalimi Ahlul bait kezaliman yang tiada tara. Mereka-lah yang membuat Ahlul bait terhina dan menipu menreka serta ditolaknya riwayat-riwayat Ahlul bait disebabkan karena orang-orang Rafidhah sangat terkenal dalam berbohong atas nama Ahlul bait.
Ditambah lagi orang-orang Rafidhah membatasi cinta mereka pada sebahagian kecil saja dari Ahlul bait. Sedangkan kebanyakan dari oarang-orang shaleh Ahlul bait mereka benci. Bahkan jumlah yang dibenci oleh orang-orang Rafidhah merka jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah yang pura-pura mereka cintai. Seperti mereka membanci keluarga Abbas beserta anak keturunnya.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah:”Manusia yang paling jauh dari melaksanakan wasiat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam terhadap keluarga beliau adalah orang-orang Rafidhah. Sesungguhnya mereka memusuhi Abbas beserta ana keturunannya. Bahkan mereka memusuhi sebahagian besar Ahlull bait dan membantu orang-orang kafir untuk menghabisi mereka”[32]. Sebagaimana mereka membantu orang-orang mongolia untuk menghancurkan kekuasaan Abbasiyah di bagdad tahun 656H, dengan tokoh sentralnya Ibnu Al Qomy dan Nasiruddin Tusy.
  • Ada dua bentuk kesesatan Syi’ah Rafidhah dalam mencintai Ahlul Bait:
Pertama: Membatasi Ahlul Bait pada keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu kemudia pada keturunan Husain Radhiallahu ‘anhu semata.
Kedua: Ghuluw (Eksrim) dalam mencintai Ahlul Bait.
Berikut ini berapa contoh tentang eksrim Syi’ah Rafidhah terhadap imam-imam mereka, terutama imam yang dua belas dari Ahlul Bait. Kita ambil contoh dalam kitab Ushul Kafi karangan Al Kulaini[33]. Kedudukan kitab ini dikalangan orang-orang Syi’ah Rafidhah adalah bagaikan shahih Bukhari dikalangan Ahlussunnahn.
Berikut ini cuplikan perkataan Al Kulaini dalam kitabnya Ushul Kafi:
  • hal: 130.
باب أن الأئمة عليهم السلام عندهم جميع الكتب التي نزلت من عند الله عز وجلّ وأنهم يعرفونها على اختلاف ألسنتها.
“Bab: Bawha sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam di sis mereka semua kitab-kitab suci yang diturun Allah ‘azza wajalla. Dan sesungguhnya mereka mengetahui semuanya sekalipun berbeda-beda bahasanya”.
Ini adalah kebohongan yang nyata dan bertentangan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Buat apa kitab-kitab tersebut mereka miliki karena hukum-hukumnya sudah mansukh (tidak berlaku) setelah Al Qu’an diturunkan. Bahkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam marah ketika melihat Umar bin Khatab Radhiallahu ‘anhu memgang lembaran Taurat. Anggapan bahwa para imam mereka mengetahui segala bahasa kitab-kitab tersebut ini kebohongan yang nyata. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam sendiri tidak mengetahui bahasa bangsa Yahudi, oleh sebab itu beliau menyuruh sahabat Zaid bin Tsabit untuk memprlajarinya. Apakah para imam tersebut lebih tinggi derajatnya dari para nabi? Karena para nabi tidak pernah diturunkan kepada mereka semua kitab yang diturunkan Allah!

  • hal: 131.
باب أنه لم يجمع القرآن كله إلا الأئمة عليهم السلام وأنهم يعلمون علمه كله.
“Bab: Sesungguhnya tidak ada yang mengumpulkan Al Qur’an secara sempurna kecuali para imam ‘alaihimussalam. Dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmunya secara keseluruhan”.
Ini adalah asumsi yang batil, karena begitu banyak sahabat yang hafal Al Qur’an. Kemudian  pernyataan bahwa para imam menguasai segala ilmu yang ada dalam Al Qur’an ini adalah sesuatu yang berlebihan. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa tafsir itu ada empat tingkatan; tafsir yang diketahui oleh setiap orang, tafsir yang diketuhi oleh para pakar bahasa Arab, tafsir yang diketahui oleh para ulama dan tafsir yang tidak mengetahuinya kecuali Allah.

  • hal: 132.
باب ما عند الأئمة من آيات الأنبياء عليهم السلام أجمعين.
“Bab: Apa yang dimiliki oleh para imam dari mu’jizat-mu’jizat para nabi ‘alaihimussalam ajma’iin”.
Ini adalah salah bentuk dari bentuk eksrim mereka dalam menilai para imam mereka, sampai-sampai menyatakan bahwa mereka memiliki mu’jizat para nabi.

  • hal: 145.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون جميع العلوم التي خرجت إلى الملائكة والأنبياء والرسل عليهم السلام.
“Bab: Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam mengetahui seluruh ilmu yang diberikan kepada para malaikat, kepada para nabi dan rasul ‘alaihimussalam”.
Ini sangat jelas sekali kebatilannya, karena Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam sendiri tidak pernah mengaku memiliki semua ilmu yang dimiliki malaikat dan para rasul lainnya.
Sebagaimana firman Allah:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ [الأنعام/50]
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”.

  • hal: 147.
باب أن الأئمة عليهم السلام إذا شاؤوا أن يعلموا علّموا.
“Bab: Bhwa sesungguhnya para imam apabila ingin tahu, mereka akan diberitahu”.
Menurut mereka para imam seperti para nabi, mereka mendapat wahyu langsung dari Allah tentang hal yang ingin mereka ketahui. Ayat yang kita sebutkan di atas sudah cukup untuk menunjukkan kebatilan pernyataan ini.

  • hal: 147 juga.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون متى يموتون وأنهم لا يموتون إلا باختيار منهم.
“Bab: Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam mengetahui kapan mereka mati. Dan sesungguhnya mereka tidak akan mati kecuali atas pilihan mereka sendiri”.
Ini adalah kebohongan dan kesyirikan yang nyata, tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui kapan ia mati, sekalipun Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Dan kematian itu mutlak berada ditangan Allah bukan atas pilihan manusia. Allah berfirman:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [لقمان/34]
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”.
Bila ajal seseorang telah datang tidak ada seorang yang dapat menolaknya sekalipun ia tidak menghendaki kematian tersebut, bahkan tidak akan bisa ditunda walau sedetik saja. Allah berfirman:
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ [الأعراف/34]
“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.

  • hal: 149.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون علم ما كان وما لم يكن وأنه لا يخفى عليهم الشيء صلوات الله عليهم
“Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam mengetahui ilmu apa yang telah terjadi dan ilmu yang belum terjadi. Dan sesungguhnya tidak sesuatu-pun yang tersembunyi atas mereka salawatullahi ‘alaihin”.
Ini adalah kesyirikan yang nyata yaitu meyakini para imam dapat mengetahui hal-hal yang sudah berlalu dan hal-hal yang akan terjadi. Allah berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ [النمل/65]
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”.
Bahkan Allah memerintahkan kepa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menyatakan bahwa ia tidak mengetahui yang ghaib:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ [الأنعام/50]
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”.
  • hal: 236.
باب في أن الأئمة عليهم السلام أنهم إذا ظهر أمرهم حكموا بحكم داود وآل داود ولا يسألون البينة عليهم السلام.
“Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam, sesungguhnya apabila merka berkuasa, mereka menjalankan hukum nabi Daud dan kularga Daud. Dan mereka tidak membutuhkan bukti (dalam memutuskan perkara) ‘alaihimussalam”.
Ini menunjukkan kebenaran apa yang disebutkan oleh para ulama, bahwa Syi’ah Rafidhah adalah rekayasa orang-orang Yahudi. Tujuan kekuasan para imam mereka menegakkan hukum Daud dan keluarga Daud. Sebagaimana hal yang sama direncanakan oleh orang-orang Yahudi di Palestina, yaitu mengembalikan kerajaan Daud.
Hal ini jelas bertentangan dengan perintah Allah kepada Rasul-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ [المائدة/49]
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”.
Dalam ayat lain Allah katakan:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ [الجاثية/18]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

  • hal: 237.
باب أنه ليس شيء من الحق في يد الناس إلا ما خرج من عند الأئمة عليهم السلام وأن كلّ شيء لم يخرج من عندهم فهو باطل.
“Bab: Sesungguhnya tidak satu-pun dari kebenaran yang ada pada manusia kecuali apa yang keluar dari para imam ‘alaihimussalam. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak keluar dari sisi mereka maka itu adalah batil”.
Ini adalah salah satu bentuk pengkultusan mereka terhadap para imam, bahwa para imam mereka adalah maksum (terbebas) dari kesalahan, dimana semua kebenaran yang ada pada manusia berasal dari mereka, bila tidak datang dari mereka maka itu adalah batil.
Menurut Al Qur’an kebenaran mutlak itu hanya dari Allah, sebagaimana firman Allah:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ [البقرة/147]
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ [الكهف/29]
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

  • hal: 242.
باب أن الأرض كلّها للإمام عليه السلام.
“Bab: “bahwa sesungguhnya bumi seluruhnya dalah milik imam ‘alaihissalam”.
Ini adalah kesyirikan yang nyata ketika meyakini seluruh bumi adalah milik imam. Bagaimana dengan firman Allah:
إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ [الأعراف/128]
“Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Sesungguhnya setiap muslim pasti mengetahui kabtilan dan kebohongan terhadap apa yang disebutkan dalam kitab Ushul Kafi karangan Kulainy tersebut. Oleh sebab itu tidak perlu kita jawab dengan panjang lebar, karena setiap muslim sudah mengetahui kebatilannya.

[1]  HR. Bukhari no (15) dan Muslim no (178).
[2]  HR. Muslim no (6378).
[3]  Lihat “Syu’abul Iman”: 2/228.
[4]  HR. Muslim no (2531).
[5]  Lihat “Minhajjussunnah”: 7/304, “Fathul Baary”: 7/78 dan “Fadhlu Ahlil Bait” karya Syeikh Abdul Muhsin, hal: 7.
[6]  Lihat “Tafsir Ibnu Katsir: 6/410.
[7]  Lihat “Tafsir Ibnu Katsir: 6/415.
[8]  HR. Bukhari no (2494).
[9]  HR. Bukhari no (3318).
[10]  HR. Muslim no (3393).
[11]  Lihat “Tafsir Qurtuby: 9/71.
[12]  Lihat “Tafsir Qurtuby: 14/122.
[13]  Lihat “Adhwaaul bayaan: 36/98.
[14]  Lihat “Adhwaaul bayaan: 36/98.
[15]  HR. Muslim (6414).
[16]  Lihat “Majmu’ Fatawa”: 1/26.
[17]  HR. Muslim no (6378).
[18]  Lihat “Al Mufhim”: 6/303-304.
[19]  HR. Muslim no (6077).
[20]  HR. Tirmizy no (3632), menurutnya hadits ini adalah hadits hasan.
[21]  HR. Bukhari no (3468) dan Abu Daud no (4631).
[22]  Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’at dalam “Thabaqaat Al Kubra”: 5/333-334.
[23]  Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’at dalam “Thabaqaat Al Kubra”: 5/387-388.
[24]  Lihat “Asy Syari’ah: 3/3.
[25]  Lihat “Asy Syari’ah: 3/3.
[26]  Lihat “Al Waasithiyah”: 26.
[27]  Lihat “Minhaajus Sunnah”: 4/363.
[28]  lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab “majmu’ muallafaat syeikh Muhammad bin Abdul Wahab jilid 3.
[29]  Lihat kitab “Ulama Najed”: 1/155.
[30]  Lihat “Nailul Authaar”: 1/224.
[31]  HR. Bukhari no (6507).
[32]  Lihta “majmu’ Fatawa”: 4/419.
[33]  Cetakan yang kami miliki, cetakan: 1 Th 1426H / 2005M, dicetak oleh muassasah Al A’lamy lilmathbu’aat, Bairut-Libanon.